Stop Ikatan Sebelum Ketaatan!


 “Sesungguhnya saat rasa menyapa hindarkan ia dari pujangga pengejar sebuah karya rekayasa. Ia bukan layaknya al ayyam al anshab yang berkisah layaknya menyambung jejak dipadang pasir. Jauh dari kronologis, bahkan sekedar mengkisahkan yang mereka inginkan.  Begitupun dengan rasa cinta dan kagum. Pilihlah para pengkisah yang jujur serta memegang riwayat seperti isnad dalam metode penulisan hadist. Agar sebuah rasa itu tidak sembarang orang bisa menyaksikannya, agar sebuah rasa itu pula tidak bermakna ganda, dan agar sebuah rasa kagum itu bukan mendatangkan malapetaka”

 ***
“Hilya… Aku suka dia ! aku bahkan lelah untuk mengingatnya dalam sebuah kenangan yang membuatku akan tergoda”. Penampilannya tak terlihat membosankan. Bahkan.. dalam kesehariannya penampilan itu menjadi fokus perhatiannya. Ehm,. memandang tingkah laku anehnya tanpa kukedipkan sepasang indera. “Hilyaa.. kamu dengerin aku nggak sih?” tepukan tajamnya mengagetkan jantungku. Segera ku beranjak menatap baik mata berbinar-binarnya.
“Afwan jiddan ya shohabaty..” ucap singkat pada saudara seaqidahku.
“Apakah aku salah?
“Apakah ia juga sama ada rasa yang tidak biasa?
“Apakah aktivitas tertangkap oleh indera tidak cukup untuk sebuah penguat kisah dalam karya sastra? Apakah memang dia sama sekali tidak ada respon dengan ku?”. Semburan pertanyaan dilayangkan untukku.
Pergaulan dalam Islam tidak banyak orang mengetahuinya bahkan untuk diajak memahami masih saja kutemui penolakan-penolakan dalam setiap interaksiku. Budaya dijadikan sebuah tolak ukur untuk melegalkan pergaulan itu. Sayang.. rasa itu kebanyakan telah ternoda.
   ***
Keanehan mulai ia rasakan saat ia beberapa kali menjadi penumpang Trans Jogja. Ada sesosok yang selalu ia lihat setiap ia berada di TJ tersebut, entah waktu berangkat ataupun pulang. Sesosok lelaki yang sekilas mata melihatnya berbeda.
 “Ia sepertinya ikhwan!” gerutu dalam hatinya sambil melihat ulang kebawah tepat diatas sepatunya, ya celananya.
“Cingkrang !” seketika ia istigfar. “Astagfirullah!”
“Katanya laki-laki kalau cingkrang itu tandanya dia ikhwan. Sudah-sudah lupakan, kuliah-kuliah. Kamu itu ke Jogja untuk kuliah bukan yang lainnya”. Ia menepuk kepala sambil bergerutu memalingkan pikirannya. Satu minggu berjalan masih juga ia menyaksikan ikhwan itu. Dua minggu, tiga minggu hingga hampir satu bulan selalu berbarengan di Trans Jogja. Akhirnya suatu ketika ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Anak U** ya? Tanya Alaina pada ikhwan yang kebetulan tepat duduk disampingnya.
“Ia,, saya anak U**. Jawab ikhwan tersebut singkat.
Percakapan berlanjut hingga ia saling tahu bahwa si ikhwannya jurusan TI dan si akhwatpun mengenalkan diri dari Jurusan Sastra. Akhirnya kebersamaan di Trans Jogja membuat mereka sedikit merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah hal yang wajar memang naluri nau’nya sedang “ON”. Pilihan untuk bertukar HP terjadi ditempat TJ. Sampai akhirnya perkenalan pun dilanjutkan dengan media elektronik yaitu HP. Tidak sering dan setiap hari memang dalam komunikasinya, namun itu sudah menimbulkan kegelisahan oleh si akhwatnya, entah juga kalau ikhwannya juga sama.
Qiya     : “Oh,, begitu ceritanya. Kamu kenal dengan ikhwan dan kamu sekarang suka. Terus juga sudah punya nomer HPnya, terus juga kalian sudah pula sering sms-an walau hanya sekedar tanya-tanya kegiatan di LDK”. Pertanyaan merambat ia berikan pada sahabatnya itu.

Alaina     : “Ia,, tapi aku masih bisa menjaga dan kasih batasan kok. Nggak semuanya terus sms-an.”
Qiya      : “Denger baik-baik ya. Kamu itu akhwat, aktif di sebuah lembaga dakwah. Kita sebagai seorang akhwat yang pakai kerudung besar dan Jilbab longgar, walau kamu juga belum istiqomah berjilbab. Pergaulan antara perempuan sama laki-laki itu ada aturannya. Makanya ta, ayo lanjut ngajinya.” Jawabku panjang lebar pada sahabatnya Alaina.
Perasaan suka tidak bisa dielakkan. Baik dari si ikhwan maupun si akhwat. Dalam setiap perjumpaan gerak-gerik ikhwannya menurut detektif Konan mencirikan sinyal respon suka juga akibat perkenalannya. Namun akhir-akhir ini ikhwannya jarang komunikasi lagi setelah beberapa semester sempat berkomunikasi lewat HP. Ternyata eh ternyata ! Alaina pun bercerita padaku. Kalau penyelidikan sahabatnya itu ada satu akhwat yang pernah disukainya. Kini sekarang ia dicuekin dan bahkan kala sma kajian tidak pernah ada jawaban.
“Sudahlah,,. Islam itu jelas dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Mungkin saja dia sadar cara ini tidak benar dalam koridor syari’at, berkhusnudzon saja sama Allah lebih baik mempersipkan diri dan menjaga”. panjang lebar penyadaranku padanya.
“Astagfirulloh.. iya ya. Aku nggak mau sampai pacaran!” sahut Alaina padaku singkat.
“Iya kalian nggak ada ijab pacaran, tapi kalau aktifitasnya sudah diluar syara’ jatuhnya sudah pada kemaksiatan. Segera taubat dan memohon ampun” tangkasku.
“Iya ya.. aku akan bertaubat dan nggak mau laki komunikasi lagi” dengan muka cemberut ku mengusap kepala Alaina.
“Jomblo hingga bersuami ya!”. Iya.. “Jomblo hingga bersuami!! Serentak kuucapkan dengan sahabatku dari tanah Sunda. Sebuah kesepakatan berdasarkan ketaatan akhirnya kami ungkapkan demi menjaga kemuliaan. Rasa itu boleh-boleh saja. Kagum itu tidak pula salah. Namun alangkah indahnya. Kagum itu saat nanti kelak aqad diucapkan oleh sang calon. Merasa rindu tatkala tak disampingnya karena cinta itu saat sudah bersamanya.

“ JOMBLO itu bukan monster manakutkan. Sebab ia tidak pernah menjadi korban laki-laki tak punya nyali.
JOMBLO itu bukan petasan yang yang mengagetkan. Sebab yang  mengagetkan itu yang pacaran akhirnya mengandung bayi dan ditinggal lari”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar