“Wahai baginda Raja, dahulu kami
adalah kaum Jahiliyyah, kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan
tindakan kekejian, memutus hubungan kekerabatan, dan berlaku buruk kepada
tetangga. Yang kuat diantara kami memakan yang lemah. Itulah keadaan kami,
hingga akhirnya Allah mengutus kepada kami seorang Rasulullah yang kami kenal
dengan baik garis keturunannya, kejujurannya, amanahnya, dan kesucian dirinya.
Dia menyeru kepada kami untuk mengesakan Allah dan menyembahNya, dan menanggalkan
apa yang sebelumnya kami dan nenek moyang kami sembah selain Allah, seperti
bebatuan, berhala-berhala”[1].
Riwayat ini sangat masyhur
dicatat oleh sejarawan muslim dalam menuliskan sirah Rasulullah. Sebuah riwayat
dari Ummu Salamah binti Umayyah bin Al-Mughirah[2]
saat bercerita tentang Ja’far sebagai juru bicara kaum Muslimin dalam peristiwa
hijahnya ke Habasyah. Kala itu Ja’far dihadapkan bukan dengan orang yang biasa,
ia dihadapkan pada sosok Raja yang punya kedudukan tinggi di muka kaumnnya. Sebuah
negeri yang Rasulullah kabarkan tiada perilaku kedzaliman oleh penguasanya
(Rajanya), maka jatuhlah pilihan hijrah ke Habsyah setelah hijrah sebelumnya
ditolak dan menyisakan luka. Sebuah negeri yang Rasulullah tahu betul apakah
negeri itu baik atau buruk, apakah menolak atau justru memberi kesempatan pada
mereka. Perintah hijrah yang Rasulullah sampaikan kepada sahabat adalah bentuk
kecintaan beliau pada sahabatnya. Keinginan beliau memberikan rasa aman serta
nyaman bagi mereka. Oleh karena itu, dikirimnya sahabat untuk hijrah ke
Habasyah adalah cara Rasulullah membina segenap sahabat dalam memimpin dakwah,
yang sangat berpengaruh sepanjang masa. Yang setelahnya menjadi panutan para sahabat
dan generasi Islam untuk menyerukan dakwah pada siapa saja yang layak menerima
seruannya.
Dialah Ja’far bin Abi Thalib.
Putra dari paman Rasulullah , Abu Thalib. Seorang kakak dari khalifah yang
agung Ali bin Abi Thalib. Terpisahkan pengasuhannya bersama pamannya, yakni
Abbas bin ‘Abdul Muthathalib. Seorang adik dari sosok yang mendapat pendidikan
madrasah agung Rasulullah. Meski berbeda pengasuhan, Allah telah menggariskan
keduanya sebagai pembela Islam yang tak diragukan. Hilmi ‘Ali Sha’ban dalam
karyanya yang berjudul Ja’far bin Abi Thalib menyebutkan bahwa ia juga mendapat
julukan Jafar –e Tayyar.[3]
Diriwayatkan bahwa Ja’far merupakan orang yang sangat dekat dengan Rasulullah,
bahkan cukup lama tinggal bersama dalam satu rumah. Budi pekertinya mencontoh
budi pekertinya Rasulullah. Bahkan Rasulullah pernah bersabda kepada Ja’far:
“Rupamu dan budi pekertimu serupa denganku”
Di bawah pimpinan Ja’far, seorang
yang mempunyai keberanian yang tinggi, yang setiap ucapannya membuat Raja
Najasy tak sedikitpun menolak tentang permasalahan Islam yang ia sampaikan.
Saat Raja bertanya:
“Apa pendapat kalian tentang Isa
putra Maryam?”
Ia tak sedikitpun berselisih
dengan Al Quran. Maka Ja’far menjawab,
“Kami
sampaikan teantangnya, seperti apa yang telah dibawa oleh Nabi kami, bahwa Isa
adalah hamba Allah dan RasulNya, serta ruh yang ditiupkan-Nya, dan kalimat yang
Dia anugerahkan kepada Maryam Sang Perawan”.
Masih tentang permintaan Raja
Najasy untuk menjelaskan tentang Maryam. Ia meminta apa tentang suatu hal yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad. Maka dengan sigap ia membacakan surat Maryam.
Dalam sebuah riwayat, penyampaian Ja’far hingga membuat Raja Najasyi
sesenggukan menangis seolah tak percaya, sampai-sampai air matanya membasahi janggut-janggutnya,
hingga lembaran kitab injil mereka. Ja’far menceritakan tentang seorang wanita yang
dalam keyakinannya sangat mulia, kisah yang diungkapkannya adalah benar tak
sedikitpun ada yang berbeda. Tatkala Raja
Najasyi mendengar ayat tersebut berkatalah ia:
“Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi
kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi
menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka
tidak akan aku serahkan kepada kalian!”.
Menelusuri
perjalanan dakwah Rasulullah periode Makkah selalu kita dapati berbagai hikmah
kisah yang membuat kita terus sujud bersyukur. Intropeksi diri bahkan bisa kita
dapati untuk mengukur kemampuan diri. “Sudah seberapa jauh kita mendalami tantangan
perjalanan dakwah beliau?”. Bahkan, seberapa besar kita merefleksikan turut
menapaki jalan dakwah beliau?. Memutuskan untuk ikut andil menjadi bagian menyeru
dalam kebaikan dan menolak kemungkaran adalah pilihan yang mulia, dan tentu
tidak sedikit tantangannya. Jikalau pilihan telah kita tentukan untuk mengambil
langkah dakwah, tidak ada sedikitpun kerugian didalamnya. Justru surga ganjarannya.
Betapa perjalanan dakwah beliau penuh
dengan tantangan yang besar. Kemurkaan kafir Qurays membuat beliau dan sahabat
beliau harus menahan sakitnya dianiaya, pemboikotan yang lama, dan permusuhan
yang tak mengenal usia, bahkan nasab kelauarga. Mereka bersekongkol dengan
seluruh pembesar kafir Qurays guna menghentikan dakwah Muhammad. Namun bagi
Rasulullah Muhammad dan sahabatnya itulah jalan yang musti ditapaki. Mustahil
jika kesabaran tak berbuah bagi mereka. Maka, separah apapun penganiayaan yang
mereka terima mejadi resiko bagi siapa saja yang memlih bersanding dengan
beliau. Menolak keyakinan kufur dan mengatakan “Allahu ahad”. Menolak
menggunkan sistem jahiliyah dan berupaya menggantikan dengan sistem yang mulia, yakni Islam.
Dialah
Ibrahim Firmansyah yang meminta diulas sosok Ja’far bin Abi Thalib saat
mendekati Ujian Akhir Semester. Dia tidak duduk didepan layaknya anak yang
“rajin” memilih barisan pertama di dalam ruang kelas. Justru ia duduk paling
belakang. Namun tak sedikitpun mengalihkan perhatian saat guru sejarahnya
menyinggung kisah Ja’far tatkala itu. Tidak banyak, saya mengkisahkannya ketika
ia berhasil mengambil perhatian Raja Najasy. Namun rupanya, sepenggal kisah itu
membuat ia ingin tahu tentang Ja’far. Sempat beberapa kali ia harus berselisih
pendapat dengan rekannya. Rekannya berharap pembahasan dakwah Rasulullah
dilanjutkan. Namun, ia belum ingin melangkah. Saya mulai bimbang, bayangkan
saja waktu yang tersisa hanya 5 menit terakhir. Sedangkan saya harus melanjutkan
materi yang harus tersampaikan dalam pertemuan kali ini. Bukannya saya tidak
ingin menceritakan sosok Ja’far dengan semua kelebihannya, hanya saja belum
menjadi pilihan yang tepat. Materi sejarah dalam satu pertemuan sudah di
rancang sedemikian rupa. Apa saja yang akan disampaikan dan mana yang harus di
“skip” agar terpenuhi kompetensi dasarnya. Ibrahim lagi-lagi terus mengeluh dan
seringkali “menyindir” dengan menyebut nama Ja’far didetik-detik terakhir. Ia
tetap “keukeuh” ingin mengenal mujahid Islam itu. Sosoknya, perangainya,
nasabnya, bahkan ketika pertemuannya dengan Raja Najasy, hingga akhir hidupnya.
Sedih sebenarnya, karena buku di sekolah juga belum memadai. Kitab Sirah
Nabawiyah juga belum mereka baca. Buku diktat mapel Sejarah Islam baru saja mereka
dapatkan. Itupun ringkasan. Lantas, seberapa besar ghirah / semangat mereka bisa
tetap membara untuk mendalami Sirah? Dan seberapa besar cinta terhadap sejarah
akan lahir dari ghirah tersebut? Saya tak bisa menjaminnya, hanya bisa
mengupayakan akan ghirah itu tetap ada.
Pernah saya
bertanya, “Apakah Sirah Nabawiyah diajarkan dipondok?” Dan memang belum ada
secara khusus mengaji tentang Sirah Nabawiyah. Disinilah saya selalu mencoba
menekankan kepada mereka untuk memperbanyak bacaan. Khususnya Sirah Rasulullah
Muhammad. Namun, kendala akses buku yang sangat minim dan akses internet mejadi
tantangan. Oleh karenanya, saya harus sebisa mungkin memasukkan kisah-kisah
dari kalangan sahabat yang musti mereka ketahui. Menyisipkan kisah-kisah yang
berharga dan sangat disayangkan apabila dilewatkan. Dia lah Ibrahim yang
menginspirasi saya agar terus memikirkan cara untuk mengenalkan Sirah
Rasulullah dan sahabat beliau. Ia pula seorang siswa yang ucapannya selalu
dijaga, tutur katanya baik, sopan, santun, bahkan hampir-hampir jarang ia
menggunkaan bahasa Indonesia. Inilah kisah singkat Ja’far bin Abi Thalib untuk
Ibrahim Firmansyah.
#1JejakSejarahIslamMadrasahKita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar