Majalah cukup “ampuh” menjadi sarana untuk menyebarkan
opini atau ide dari sekelompok penggagas. Temasuk “Charlie Hebdo”yang hingga
kini belum juga kapok terus menyebarkan misinya. Prancis sebagai negara
“Sekuler” ternyata telah mempunyai deretan kelam sejarah dalam hal media.
Menurut keterangan Washington Post, majalah ini terbit pada 1969 sampai
1981. Majalah ini sempat tutup kemudian terbit lagi pada 1992. Charlie Hebdo
kerap menerbitkan artikel yang ekstrem tentang Katolik, Islam, Yahudi, politik,
budaya, dan lainnya. (kompas.com)
Pada 2001, Charlie Hebdo pernah dituntut oleh
dua kelompok Islam Prancis karena menggambarkan kartun Nabi Muhammad. Namun
tuntutan itu ditolak dengan alasan kartun dilindungi oleh hukum kebebasan
berekspresi, dan mereka tidak menyerang Islam tetapi fundamentalis. Pada
September 2012, Charlie Hebdo juga menerbitkan kartun satire seri Nabi
Muhammad.
Majalah “kelam” tersebut pernah memuat edisi
kontroversial pada 3 November 2011. Edisi ketika itu merubah nama Charlie Hebdo
menjadi Sharia Hebdo dengan mencantumkan Nabi Muhammad sebagai editor tamu di
dalamnya.Peristiwa 7/1/ lalu merupakan respons atas edisi Charlie Hebdo
yang memuat sampul bergambar kartun Muhammad yang sedang berkata: "100 lashes
of the whip if you don't die laughing."
Peristiwa lalu yang menewaskan 12 orang di Kantor
majalah satir Charlie hebdo terus saja menuai dukungan dari
negeri-negeri Barat. Terlebih lagi berita terbaru tidak membuat mereka “kapok”
akan kejadian itu. Justru gendang peperangan yang mereka tabuhkan kepada
umat muslim semakin gencar.Terbukti, seperti berita yang dilansir Metrotvnews.com.
Paris Surat kabar satire Charlie Hebdo berencana mencetak edisi terbarunya yang
menampilkan kartun Nabi Muhammad hingga lima juta kopi. Sebelumnya, Charlie
Hebdo hanya akan mencetak tiga juta kopi.
"Pagi ini para editor memutuskan meningkatkan
jumlah pencetakannya hingga lima juta," ujar Veronique Faujour, kepala
pendistribusian MLP, seperti diwartakan AFP, Rabu (14/1/2015).
Rupanya paradigma “standar ganda” yang dimiliki negara
berbasis sekuler memang tidak akan membuka sedikit akalnya untuk berhenti
memusuhi Islam. Peperangan antar negara sejak abad 18 dalam berbagai bidang,
tidak mempengaruhi sedikitpun ketika menyentuh eksistensi Islam. Seorang musuh
berubah menjadi sahabat. Begitulah kiranya yang mampu kita tangkap saat Prancis
dan Inggris “bergandeng tangan” membela majalah satir Charlie Hebdo di
Prancis. Dua negara saat abad ke 18 terus saja bermusuhan dalam memperebutkan
negara maritim yang kuat. Namun, seolah berbalik arah dan saling bersandingan
saat sebuah kasus yang mampu menyatukan “kepentingan” mereka untuk memerangi
kaum muslimin.Sebuah alibi, saat pembela majalah mengatakan teroris adalah
mereka yang fundamentalisme.
Mereka seolah buta, saat Nabi Muhammad dihina dunia
akan diam. Mereka seolah buta, saat Nabi dihina sebuah pembelaan akan terus ada
karena bentuk cinta kita. Penghinaan itu, umat muslim tidak akan pernah diam,
umat muslim tidak akan pernah lupa, dan umat muslim akan terus melawan. Dan
karena tingkah itu, Charlie Hebdo telah hina, mereka pula membuat “sejarah
kelam media” Prancis.
Wallohu ‘alam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar