Wajah
Presiden Indonesi kini tampaknya memang begitu ketara beda kelas dari
sebelumnya. Jika dulu SBY adalah dari kelas Militer, Gus Dur dari kelas
organisasi masyarakat NU. Maka, Jokowi begitu "sama" dengan rakyatnya.
Wajahnya biasa bahkan mungkin sama dengan kita (Eko Prasetyo)
Basis dukunganpun perlahan bergulir dan semakin tak terbendung. Akibat aktivitas "blusukannya" sehingga datanglah berbondong-bondong para relawan mendukungnya. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Belum lagi praktek korupsi konon saat ikrar janji akan diberantas tuntas tak menyisakan bekas. Tampaknya, rakyat juga mulai tergiur akan "prestasinya" dalam pola kepemimpinannya. Belum lagi jika dihadapkan pada kisah tanah abang.
Maka, wajar muncul harapan "Inilah pemimpin sebenarnya?". Seolah-olah yang terlihat semua itu menjadi titik poin idealitas sebagai seorang pemimpin. Namun, seperti apakah yang sebenarnya terjadi,,?
Jokowi-JK sudah jauh lewat 100 hari memimpin negeri. Harapan rakyat terhadap janji yang telah diikrarkan akan selalu melekat dalam ingatan. Namun, akankah janji-janji presiden dan wakil presiden sepenuhnya mendapat dukungan?
Baru-baru ini sebuah buku hasil tulisan aktivis mahasiswa telah terbit dihadapan kita. Dengan judul "Menagih Janji Negarawan" berisi semua janji Jokowi-JK saat kampanye menjadi Presiden. Sebuah kewajaran dari para aktivis mahasiswa mengindahkan ikrar kedua petinggi negeri ini. Sebuah gagasan, ungkapan, bahkan dukungan agar senantiasa Jokowi-JK tidak pernah lupa akan Nawa Cita yang terlanjur dihidangkan pada rakyatnya.
Harapan besar masih juga digantungkan. Oleh rakyat yang tau betul akan demokrasi sampai pada mereka yang hanya paham demokrasi sebatas pemilihan rutinan tiap lima tahun sekali.
Faktanya, hutang Indonesia terhadap luar negeri dan dalam negeri mencapai Rp 3.534 triliun. Pemerintah begitu bangga saat negeri ini semakin menumpuk hutangnya. Tentu kita tidak lupa saat Sri Mulyani sebagai Mantan Menteri Perekonomian menyampaikan bahwa hutang adalah instrumen untuk mencapai kesejahteraan. Bahkan, Indonesia demi memperbaiki infrastruktur negeri selalu mengambil hutang demi pembiayaan-pembiayaan negara. Seperti, pendidikan, kesehatan, juga tak luput dari hasil hutang kepada luar negeri.
Berkaca dari negara yang konon negara "Adidaya" yakni Amerika. Negara ini sebenarnya sungguh tak berdaya. Negara tersebut tak ubahnya hasil permainan para pemilik bankir dunia. Negara dilumpuhkan dengan pemberian hutang. Negara dipaksa untuk mengikuti segala bentuk perjanjian dan intervensi-intervensi sekelompok orang. Negara begitu mudah diadu oleh keluarga Rostschild atas nama perang wilayah antara Selatan dan Utara. Begitu juga, negara Inggris dan Prancis. Sebuah negara yang tak jauh dari upaya pembekuan atas beberapa kelompok orang yang bergerak mengkontrol negara.
Lantas Indonesia?
Ternyata tidak jauh berbeda. Hutang yang sangat besar, kronologinya tak jauh dari negara Amerika saat dilumpuhkan dengan hutang pula. Negeri ini, hanyalah perpanjangan upaya dari para pemilik bankir menguasai dunia. Terbukti, UU No 23/1999 tentang independensi BI dikatakan sebagai tonggak harapan terhadap kemandirian bank sentral di Indonesia. Namu, faktanya jauh panggang dari api. Bank di Indonesia adalah bentuk penjajahan dari mereka yang begitu rapih menjalanakannya.
Begitu banyak rakyat sudah dikecewakan. Atas ulah para pemegang jabatan memutuskan kebijakan. Harusnya negeri ini, terkhusus lagi para pemimpin berkaca pada negara yang sudah lebih dulu dicengkerama. Indonesia jangan selalu "nyah-nyoh" Istilah jawanya terhadap para asing mencampuri urusan negara.
Sebenarnya, jika mau membuka mata negeri ini sudah tak lagi berdaulat. "Berdaulat" hanya sebatas angan-angan belaka tanpa ada usaha merealisasikan dari para pemegang jabatan. Mereka hanya memikirkan bagaimana memenuhi isi perut dan mempertahankan keturunannya. Tak sedikitpun membebaskan negeri terkhusus lagi mengurusi rakyatnya agar hidup sejahtera. Justru sebaliknya.
Sungguh, sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang tak pernah ingkar janji. Karena kemuliaan hanya ada pada sistem Islam. Rakyat akan diarahkan pada aqidah yang benar. Rakyat akan selalu digiring pada kehidupan berasaskan Islam, bukan "materialistik" yang tengah diemban oleh negara-negara sekuler seperti Amerika dan sekutunya. Jika Indonesia ingin berdaulat, maka sungguh solusi satu-satunya adalah mengadopsi sistem Islam. Karena Islam tidak hanya sebatas pengaturan didunia saja. Karena Islam menjalankan dua instrumen secara bersamaan. Karena keyakinan terhadap Allah Sang Maha Al Mudabbir. Maka hidup didunia adalah bekal untuk hidup sesungguhnya di akhirat. Maka sudah seharusnya berjalan sebagaimana seharusnya. Islam diterapkan disegala lini kehidupan. Hanya dengan itu, negeri ini bahkan dunia akan berdaulat terbebas dari para penjarah.
Mari Berdakwah, menyadarkan masyarakat dengan Islam!
Basis dukunganpun perlahan bergulir dan semakin tak terbendung. Akibat aktivitas "blusukannya" sehingga datanglah berbondong-bondong para relawan mendukungnya. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Belum lagi praktek korupsi konon saat ikrar janji akan diberantas tuntas tak menyisakan bekas. Tampaknya, rakyat juga mulai tergiur akan "prestasinya" dalam pola kepemimpinannya. Belum lagi jika dihadapkan pada kisah tanah abang.
Maka, wajar muncul harapan "Inilah pemimpin sebenarnya?". Seolah-olah yang terlihat semua itu menjadi titik poin idealitas sebagai seorang pemimpin. Namun, seperti apakah yang sebenarnya terjadi,,?
Jokowi-JK sudah jauh lewat 100 hari memimpin negeri. Harapan rakyat terhadap janji yang telah diikrarkan akan selalu melekat dalam ingatan. Namun, akankah janji-janji presiden dan wakil presiden sepenuhnya mendapat dukungan?
Baru-baru ini sebuah buku hasil tulisan aktivis mahasiswa telah terbit dihadapan kita. Dengan judul "Menagih Janji Negarawan" berisi semua janji Jokowi-JK saat kampanye menjadi Presiden. Sebuah kewajaran dari para aktivis mahasiswa mengindahkan ikrar kedua petinggi negeri ini. Sebuah gagasan, ungkapan, bahkan dukungan agar senantiasa Jokowi-JK tidak pernah lupa akan Nawa Cita yang terlanjur dihidangkan pada rakyatnya.
Harapan besar masih juga digantungkan. Oleh rakyat yang tau betul akan demokrasi sampai pada mereka yang hanya paham demokrasi sebatas pemilihan rutinan tiap lima tahun sekali.
Faktanya, hutang Indonesia terhadap luar negeri dan dalam negeri mencapai Rp 3.534 triliun. Pemerintah begitu bangga saat negeri ini semakin menumpuk hutangnya. Tentu kita tidak lupa saat Sri Mulyani sebagai Mantan Menteri Perekonomian menyampaikan bahwa hutang adalah instrumen untuk mencapai kesejahteraan. Bahkan, Indonesia demi memperbaiki infrastruktur negeri selalu mengambil hutang demi pembiayaan-pembiayaan negara. Seperti, pendidikan, kesehatan, juga tak luput dari hasil hutang kepada luar negeri.
Berkaca dari negara yang konon negara "Adidaya" yakni Amerika. Negara ini sebenarnya sungguh tak berdaya. Negara tersebut tak ubahnya hasil permainan para pemilik bankir dunia. Negara dilumpuhkan dengan pemberian hutang. Negara dipaksa untuk mengikuti segala bentuk perjanjian dan intervensi-intervensi sekelompok orang. Negara begitu mudah diadu oleh keluarga Rostschild atas nama perang wilayah antara Selatan dan Utara. Begitu juga, negara Inggris dan Prancis. Sebuah negara yang tak jauh dari upaya pembekuan atas beberapa kelompok orang yang bergerak mengkontrol negara.
Lantas Indonesia?
Ternyata tidak jauh berbeda. Hutang yang sangat besar, kronologinya tak jauh dari negara Amerika saat dilumpuhkan dengan hutang pula. Negeri ini, hanyalah perpanjangan upaya dari para pemilik bankir menguasai dunia. Terbukti, UU No 23/1999 tentang independensi BI dikatakan sebagai tonggak harapan terhadap kemandirian bank sentral di Indonesia. Namu, faktanya jauh panggang dari api. Bank di Indonesia adalah bentuk penjajahan dari mereka yang begitu rapih menjalanakannya.
Begitu banyak rakyat sudah dikecewakan. Atas ulah para pemegang jabatan memutuskan kebijakan. Harusnya negeri ini, terkhusus lagi para pemimpin berkaca pada negara yang sudah lebih dulu dicengkerama. Indonesia jangan selalu "nyah-nyoh" Istilah jawanya terhadap para asing mencampuri urusan negara.
Sebenarnya, jika mau membuka mata negeri ini sudah tak lagi berdaulat. "Berdaulat" hanya sebatas angan-angan belaka tanpa ada usaha merealisasikan dari para pemegang jabatan. Mereka hanya memikirkan bagaimana memenuhi isi perut dan mempertahankan keturunannya. Tak sedikitpun membebaskan negeri terkhusus lagi mengurusi rakyatnya agar hidup sejahtera. Justru sebaliknya.
Sungguh, sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang tak pernah ingkar janji. Karena kemuliaan hanya ada pada sistem Islam. Rakyat akan diarahkan pada aqidah yang benar. Rakyat akan selalu digiring pada kehidupan berasaskan Islam, bukan "materialistik" yang tengah diemban oleh negara-negara sekuler seperti Amerika dan sekutunya. Jika Indonesia ingin berdaulat, maka sungguh solusi satu-satunya adalah mengadopsi sistem Islam. Karena Islam tidak hanya sebatas pengaturan didunia saja. Karena Islam menjalankan dua instrumen secara bersamaan. Karena keyakinan terhadap Allah Sang Maha Al Mudabbir. Maka hidup didunia adalah bekal untuk hidup sesungguhnya di akhirat. Maka sudah seharusnya berjalan sebagaimana seharusnya. Islam diterapkan disegala lini kehidupan. Hanya dengan itu, negeri ini bahkan dunia akan berdaulat terbebas dari para penjarah.
Mari Berdakwah, menyadarkan masyarakat dengan Islam!
1 komentar:
Iwansmile's Blog
Teori Kebijakan Luar Negeri
Menurut James N Rosenau, kebijakan luar negeri digunakan untuk menganalisa dan mengevakuasi kekuatan-kekuatan internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain.
Sedangkan menurut K. J. Holsti, kebijakan luar negeri adalah tindakan atau gagasan yang dirancang oleh pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan, yaitu dalam kebijakan sikap atau tindakan dari negara lain. Gagasan kebijakan luar negeri, dapat dibagi menjaadi empat komponen dari yang umum hingga kearah yang lebih spesifik yaitu orientasi kebijakan luar negeri, peran nasional, tujuan, dan tindakan.
Sumber –sumber dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat adalah :
1. External Sources
Sumber-sumber eksternal merupakan perangkat dari sistem internasional untuk mempengaruhi karakteristik dan tingkah laku negara dan non negara. Ini termasuk semua aspek bentuk eksternal Amerika atau suatu tindakan ke luar negara. Kebijakan luar negeri Amerika dipengaruhi oleh kondisi dari lingkungan internasional.
2. Societal Sources
Sumber-sumber kemasyarakatan merupakan aspek dari non pemerintah dari suatu system politik yang mempengaruhi tingkah laku eksternal negaranya.
3. Governmental Sources
Sumber-sumber dari pemerintahan merupakan aspek-aspek dari struktur pemerintah yang membatasi atau menambah suara-suara dalam pembuatan kebijakan luar negeri Amerika.
4. Role Sources
Sumber-sumber peran merupakan hal yang penting karena pembuat keputusan dipengaruhi oleh tingkah laku social dan norma-norma yang legal dalam peran yang dipegang oleh seseorang. Posisi pembuat keputusan memegang tingkah laku mereka dan masukan bagi kebijakan luar negeri.
5. Individual Sources
Sumber-sumber individu merupakan karakteristik seseorang yang mempengaruhi tingkah laku dan pembuatan kebijakan luar negeri. Seperti karakteristik seorang presiden yang berpengaruh terhadap tingkah laku politik luar negerinya.
Pasca tragedi 11 September 2001 dimana terjadinya peristiwa penyerangan menara kembar World Trade Centre (WTC) di New York dan Gedung Pusat Pertahanan AS (Pentagon) di Washington, yang diduga AS dilakukan oleh sekelompok teroris internasional, membuat AS pada saat itu dibawah pemerintahan George W. Bush mengubah kebijakan luar negeri dengan pola pre-emtive attack (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defentif) untuk melawan terorisme yang telah mencoreng kehormatan AS di mata dunia.
Kebijakan luar negeri AS memiliki lima komponen utama, yaitu sebagai berikut :
Preemption : dimana AS harus mengambil tindakan mendahului menyerang sebelum diserang terhadap segala bentuk potensi ancaman terhadap warga negaranya.
Unilateralisme : tindakan yang diambil tidak harus meminta atau tergantung pada persetujuan badan internasional ataupun negara (sekutu) lain.
Hegemoni : AS harus mempertahankan tingkat kesiapan militer yang mampu mengalahkan segala macam kombinasi kekuatan dimana saja.
Demokratisasi : tiga komponen di atas digunakan untuk menyebarluaskan demokrtasi ke seluruh dunia.
Demonstrasi : kemenangan mutlak yang dicapai merupakan alat demonstrasi atas kekuatan AS dan memaksa negara lain bekerjasama dalam hegemoni AS.[1]
[1] Revolusi Politik Luar Negeri Amerika pada Era Bush, dalam http://www.pikiran-rakyat.com.cetak1004/170901.htm,
Pemilihan Umum Amerika Serikat 2004 Analisa dan Prediksi, dalam http://www.home.snafu.de/watchin/kompas16.10.04.html-16k, diakses pada tanggal 10 Agustus 2007.
:) Nitip
Posting Komentar