Pada tahun
1931, Syeikh Abdul Hamid Ibnu Badis bersama para ulama lain mendirikan
organisasi Jam’iyah Al-Ulama Al-Muslimin Al-Jazairiyah. Sejalan dengan
perkembangan waktu, beragam dakwah dan harakah berkembang di Aljazair, mulai
dari dakwah salafiyyah, yang sedari awal mendominasi, Ikhwanul Muslimin,
Jama’ah Tabligh, bahkan thariqat Shuffiyah. Gerakan2 Islam tersebut berusaha menyerukan
kembali ke jalan Islam.
Di tahun2 di mana Aljazair mengalami banyak
demonstrasi besar2an di kampus2 yang menuntut untuk diterapkannya syari’at
Islam di Aljazair, FIS (Front Islamique du Salut)muncul sebagai partai
berideologi Islam berdiri pada tahun 1989, ketika presiden Chaldi benjedid
membuka peluang terhadap rakyat untuk mendirikan partai (sebelumnya hanya
partai NLF yang berkuasa sebagai partai tunggal). Sebelum menjadi sebuah
partai, FIS mulanya adalah sebuah gerakan bawah tanah.
Setelah melalui proses yang memakan waktu bertahun2,
pada tahun 1989 terbentuklah lembaga dakwah hasil fusi beberapa jama’ah yang
diberi nama Rabithah Dakwah (Liga Dakwah) diketuai oleh Syaikh Akhmad Sahnun.
Tokoh2 utama dalam lembaga ini selain Syaikh Sahnun , diantaranya Mahfuzh
Nahnah, Abbasi Madani, Abdullah Jabullah, ali Belhadj dan Muhammad Sa’id. Misi
yang diemban oleh badan ini yang paling mecolok adalah meliputi beberapa poin.
Pertama, meluruskan aqidah umat. Kedua, gerakan dakwah untuk menciptakan
masyarakat yang berakhlak Islami. Ketiga, berupaya mempersatukan fikrah
(persepsi pemikiran) dalam perjuangan menegakkan syari’at.
Dalam perjalanannya kemudian, terjadi banyak
perdebatan internal dalam tubuh lembaga ini. Syaikh muda Ali Belhadj
mengusulkan dibentuknya Front Kesatuan Islam (Al-Jabhah al-islamiyyah
al-muwahhadah). Lalu Dr. Abbasi Madani mengusulkan nama Al-Jabhah al-Islamiyyah
lil-Inqadz, yang dikenal luas di dunia internasional sebagai Islamic Salvation
Front atau Front Islamique du Salut (FIS) dalam bahasa Perancis.
Pendekatan intensif yang dilakukan terhadap rakyat
oleh FIS rupa2nya berhasil. Hasilnya dalam waktu yang singkat, simpati rakyat
pun tertuju pada FIS, hingga mengantarkannya kepada kemenangan pemilu. Umat
Islam menyambut gembira kemenangan FIS ini. Rakyat Aljazair menginginkan
perubahan menuju kehidupan yang lebih baik dengan Islam. Namun harapan tersebut
tinggalah harapan, FIS harus menelan pahit saat militer mengambil alih dan
memburu para aktivisnya untuk dijebloskan ke penjara.
Kemenagan FIS pada pemilu saat itu membawa dilemma tersendiri bagi presiden Aljazair kala itu, Benjedid. Di satu pihak ia harus menegakkan demokrasi yang berarti dia harus mengakui kemenangan FIS, membiarkan FIS berkuasa. Tapi di lain pihak ia mendapat tekanan dari militer dan Barat untuk membatalkan hasil pemilu dan menunda penyelenggaraan pemilu putaran kedua untuk menjegal FIS.
Oleh karena itulah, Benjedid pun akhirnya mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Konstitusi pimpinan Abdulmalik Benhabyles. Selang sehari kemudian, pihhak militer (para perwira tinggi anggota Dewan Keamanan) mengkudeta kekuasaan dengan alasan Benhabyles tak mampu menjadi pejabat sementara presiden.
Kemenagan FIS pada pemilu saat itu membawa dilemma tersendiri bagi presiden Aljazair kala itu, Benjedid. Di satu pihak ia harus menegakkan demokrasi yang berarti dia harus mengakui kemenangan FIS, membiarkan FIS berkuasa. Tapi di lain pihak ia mendapat tekanan dari militer dan Barat untuk membatalkan hasil pemilu dan menunda penyelenggaraan pemilu putaran kedua untuk menjegal FIS.
Oleh karena itulah, Benjedid pun akhirnya mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Konstitusi pimpinan Abdulmalik Benhabyles. Selang sehari kemudian, pihhak militer (para perwira tinggi anggota Dewan Keamanan) mengkudeta kekuasaan dengan alasan Benhabyles tak mampu menjadi pejabat sementara presiden.
Untuk menimbulkan kesan bahwa kekuasaan tidak berada
di tangan militer. Dewan Keamanan membentuk Dewan Tinggi Negara yang
beranggotakan lima orang. Diketuai oleh Mohammad Boudiaf (tokoh sosialis) yang
merangkap sebagai presiden.
Setelah mengusai pemerintahan, Dewan Keamanan langsung
mengumumkan pembatalan hasil pemilu yang dimenangkan FIS secara mutlak. Sontak
saja ini membuat aksi protes dan kerusuhan melanda Aljazair. Situasi kacau ini
dimanfaatkan rezim berkuasa sebagai alasan kuat untuk memberangus FIS. Aktivis
FIS ditangkapi, termasuk kedua pemimpinnya, Abbasi Madani dan Ali Belhadj.
Partai ini juga dinyatakan sebagai partai terlarang sejak saat itu. Penggagalan
pemilu di Aljazair, jelas didasari kekhawatiran munculnya kekuatan Islam di
skup Negara.
Padahal, banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil
dari perjalanan perjuangan FIS ini. Pertama, negeri ini telah menunjukkan
secara gamblang akan kepalsuan system demokrasi, yang katanya memberikan
kedaulatan kepada suara mayoritas. Sebesar apa pun kebebasan yang diberikan
demokrasi tidak akan memberikan peluang bagi Islam yang kaffah untuk berkuasa.
Bagaimana mungkin akan diberi peluang antara Islam dan demokrasi memang saling
bertolak belakang. Kedua, jalan demokrasi terbukti berdasarkan fakta, tidak
bisa digunakan oleh umat dalam perjuangannya. Sebab, bagaimanapun, pihak
penguasa satus quo tidak akan pernah memberikan kemenangan kepada kelompok
Islam, meskipun kemenangan itu diperoleh secara demokratis.
Demokrasi telah berulang kali gagal untuk menghasilkan
setiap perubahan positif yang signifikan bagi umat islam. Demokrasi tak lebih
dari sekedar alat politik yang digunakan untuk memanipulasi dan meredam
tantangan yang fundamental atas status quo yang sekuler. Visi demokrasi adalah
pemecahbelahan di mana umat tetap terperangkap dalam sekat2 golongan. Demokrasi
mempertentangkan kaum muslim yang seringkali menyebabkan konflik. Akhirnya,
demokrasi adalah sebuah kontradiksi langsung atas ide umat dari kesatuan islam.
Barat mengerti benar, dengan memasang jebakan
demokrasi ini, energy umat islam akan terkuras. Mestinya umat ini, apalagi para
pegiat dakwahnya, sudah kenyang menyaksikan pengalaman2 sejarah pendahulunya
yang menyuguhkan fakta betapa secara empiris, perjuangan melalui system
demokrasi atau system kufur lainnya, tidak pernah membuahkan hasil yang
diinginkan. Yang ada justru ketertipuan demi ketertipuan. Tanpa disadari,
stamina umat terus melemah demi sibuk meladeni ritme gerak yang diciptakan
musuh. Lambat laun mereka akan semakin lupa dan mengabaikan sama sekali metode
menyusuri alur perjuangan mereka sendiri yang khas. Bukankah hujan lebat itu
pada mulanya sekedar rintik2 gerimis?
Tak hanya FIS yang mengalami seperti itu, tapi juga
HAMAS di Palestin, REFAH di Turki pun demikian. Perlu diceritakan juga?
Pada awalnya HAMAS hanya menjadikan jihad sebagai
satu2nya jalam pembebasan dari cengkraman zionis Israel. Komitmen dari
perjuangan nyata HAMAS ini berhasil merebut simpati rakyat Palestina.
Setelah hampir 20 tahun menempuh jalur jihad, HAMAS ditimpa ujian dan cobaan. Perjuangan suci untuk membebaskan tanah palestina dengan jihad mulai dikotori dengan system pemilu demokrasi ala barat yang nampak indah dan memukau. HAMAS akhirnya terjebak ikut pemilu , yakni pada pemilihan parlemen pada tahun 2006. Tapi apa yang terjadi? HAMAS memang menang mutlak, tetapi yang terjadi justru konflik dengan Fatah yang sedari dulu memang menempuh jalan kompromi damai dengan Israel.
Hal serupa juga dialami oleh Refah di Turki. Namun, Refah lebih beruntung karena sempat menobatkna presidennya sebagai PM Turki selam kurang lebih 20 bulan. Namun, yah sebagaimana yang terjadi pada FIS dan HAMAS, gerakan Refah pun dijegal. Tidak kuat dengan berbagai tekanan yang dialamatkan kepadanya, Najmudin Arbakan, akhirnya terguling. Sebagaimana FIS, Refah dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang oleh militer.
Setelah hampir 20 tahun menempuh jalur jihad, HAMAS ditimpa ujian dan cobaan. Perjuangan suci untuk membebaskan tanah palestina dengan jihad mulai dikotori dengan system pemilu demokrasi ala barat yang nampak indah dan memukau. HAMAS akhirnya terjebak ikut pemilu , yakni pada pemilihan parlemen pada tahun 2006. Tapi apa yang terjadi? HAMAS memang menang mutlak, tetapi yang terjadi justru konflik dengan Fatah yang sedari dulu memang menempuh jalan kompromi damai dengan Israel.
Hal serupa juga dialami oleh Refah di Turki. Namun, Refah lebih beruntung karena sempat menobatkna presidennya sebagai PM Turki selam kurang lebih 20 bulan. Namun, yah sebagaimana yang terjadi pada FIS dan HAMAS, gerakan Refah pun dijegal. Tidak kuat dengan berbagai tekanan yang dialamatkan kepadanya, Najmudin Arbakan, akhirnya terguling. Sebagaimana FIS, Refah dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang oleh militer.
Apa yang menimpa FIS saya pikir cukup memberikan
pelajaran bagi mereka yang ngotot menempuh jalur demokrasi ini. Bahkan FIS
buru2 dibubarkan sebelum sempat mencicipi kursi parlemen. Kegagalan ini berawal
ini dari metode yang salah dalam menegakkan Islam. Sampai kapan pun Islam tidak
akan pernah berhasil diperjuangkan lewat jalur ini, karena Islam dan demokrasi
bertentangan dan berdiri sendiri2. Beberapa alasan yang hendaknya kita
renungkan adalah:
a. Islam adalah agama Allah yang diturunkan bagi
hamba-Nya. Islam mempunyai tujuan2 dan metode2 khusus dalam tarafnya sebagai
dien rabbani. Sedangkan tujuan islam tidaklah dicapai kecuali melalui metode
selain metode syar’I yang benar. Adapun jika tujuan syar’I tidak dicapai dengan
metode yang syar’I,maka ini adalah sebuah kesesatan dan penyimpangan dari
kebenaran.
b. Kemenangan bagi mukmin di dunia mempunyai syarat,
yaitu tauhid dan menjauhi syirik dan semua yang berpotensi menimbulkannya.
c. Sebab kegagalan kaum muslimin memperjuangkan Islam
lewat jalur parlemen adalah perseteruan abadi antara haq dan bathil sejak
munculnya kehidupan di dunia ini. Orang kafir tidak akan pernah membiarkan
berdirinya kekuasaan Islam.
Inilah realita yang terjadi di dalam system demokrasi
yang tidak memungkinkan Islam untuk mengatur di dalamnya. Karena asas
sekularitas (pemisahan urusan dien dan Negara) begitu kental dalam prinsip
demokrasi. Toh kalaupun mereka berhasil menguasai parlemen lantas bertekad
menerapkan hokum islam, timbul pertanyaan. Kemudian hukum islam yang bagimana
yang akan mereka terapkan? Yang sesuai dengan kitab wa sunnah seperti pada
zaman Rasulullah dulu, atau hukum islam yang bisa mengakomidir seluruh
pemahaman yang ada pada partai2 yang bersatu? Karena harus diingat, di dalam
konsep demokrasi, setiap orang berhak menuntut haknya.
Suatu ketika pernah Sayyid Qutb ditemui seorang utusan
dari Sudan yang mengisahkan kemenangan kaum muslimin di sana ditandai dengan
tumbangnya rezim militer. Dan mulainya babak baru penerapan syari’at islam yang
mereka tempuh melalui jalur pemilu. Mendengar penuturan ikhwan Sudan ini,
sayyid Qutb berkata: “bahwa penegakkan syariat islam di belahan bumi manapun
sekali-kali tidak akan pernah tercapai melalui jalan ini (demokrasi), dan tidak
akan tercapai melainkan melalui manhaj yang lambat, panjang, selalu bertujuan
pembinaan koordinasi yang kuat dan bukan semata2 tujuan puncak khilafah.
Dimulai dari penanaman aqidah yang benar dan tarbiyyah islamiyyah akhlaqiyah.
Dan jalan ini yang terkesan lambat dan panjang ini adalah jalan terdekat dan
tercepat di antara jalan2 yang lain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar