Budaya politik yang makin terbuka hari ini memunculkan banyak
jargon-jargon kampanye. Apalagi sistem otonomi daerah yang merata di
seluruh daerah, makin membanjiri telinga rakyat dengan beragam
jualan-jualan politik. Rakyat disuguhi dengan menu-menu kosong. Mengapa
kosong, karena para politisi hanya membuat jargon yang semua orangpun
bisa mengatakannya. Namun dalam tahap implementasi, masih juga dengan
cara-cara yang sama. Tak ada tawaran kongkrit yang bisa mengatasi
masalah-masalah yang diderita rakyat saat ini. Contohnya saja, jargon
“pasti bisa” ataukah “mari berubah” serta “atas nama rakyat” dan masih
banyak lagi.
Melihat kompleksnya masalah negeri kita sekarang, rakyat membutuhkan
jawaban-jawaban yang benar-benar real mengatasi setiap aspek
kehidupannya yang dipenuhi masalah. Identifikasi masalah sebenarnya
penting untuk menerawang jauh, apa latar belakang masalah yang dialami
oleh rakyat. Bahkan problem solver_dalam hal ini para politisi_
semestinya menuju ke akar rumput untuk merabanya. Terkadang proses
grassrootisasi yang dilakukan para politisi, hanya bentuk pencitraan
belaka. Karena ketika menjabarkannya di meja-meja kekuasaan, semuanya
larut dalam mekanisme kotor sistem. Bejatnya bahkan memanfaatkan nama
rakyat di belakangnya demi kepentingan pribadi.
Fenomena Jokowi yang tampil ke permukaan merupakan gambaran nyata
ketidak percayaan rakyat kepada politisi. Sebenarnya tidak bisa
dibenarkan seutuhnya bentuk kepercayaan masyarakat dengan
kampanye-kampanye yang seolah-olah akan memperbaiki kehidupannya. Jangan
sampai itu merupakan bentuk apatis serta pragmatis. Padahal, rakyat
saat ini membutuhkan kebangkitan yang nyata yang muncul dari
kesadarannya sendiri untuk menerawang. Dan itu hanya bisa ditopang
ketika masalah-masalah mereka terjabarkan nyata di benak mereka. Tentu
mesti ada yang mampu menggambarkan dengan kongkrit hal ini. Selain
menceritakan hirarki masalah yang kompleks tersebut, masyarakat juga
harus tahu mekanisme seperti apa yang harus diberlakukan untuk
menjawabnya. Sekiranya ada politisi yang mampu melakukan seperti itu,
maka masyarakat harus mencari tahu dan mengikutinya.
Pada intinya, masalah kita semua berangkat dari sebuah mekanisme/sistem
yang berangkat dari asas yang salah. Ketika asas yang menjadi landasan
adalah asas jahannam maka makhluk-makhluk yang mengikutinya akan
melakukan tindakan-tindakan yang cenderung seperti itu. Masalah ini
perlu dijabarkan merata lewat edukasi-edukasi politik. Serta menerangkan
bahwa masyarakat harus mengganti sistem yang ada dengan sistem yang
baru. Karena itulah titik krusialnya. Masalah sistemik.
Kampanye-kampanye membosankan tadi harus dijawab dengan sebuah tawaran
perubahan yang sifatnya revolusioner. Rillnya, masyarakat harus
mendeteksi sistem apa yang mampu menjawab berbagai polemik yang terjadi
secara komprehensif tersebut.
Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup heroik selama masa
kemerdekaanya. Tetapi tak pernah berujung kepada penyelesaian masalah
utama. Hal itu dikarenakan, masyarakat salah dalam melihat masalah dan
memberikan solusi. Ketika di masa orde lama, Indonesia ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan politik komunisme Uni Soviet dan
sekutu-sekutunya. Kemudian setelah orde baru runtuh, masyarakat disuguhi
sistem sesat Kapitalisme dari Amerika Serikat dan kawan-kawannya.
Akibat pengaruh dari itu, masyarakat lupa bahwa lahirnya kehidupan
mereka baik pribadi maupun bermasyarakat dan bernegara, berasal dari
nafas religusitas yang tak ternilai harganya. Masyarakat begitu tenang
ketika berbicara tentang perihal-perihal yang berkenan dengan persoalan
spritual. Lalu mengapa ketenangan itu tidak berusaha diimplementasikan
dalam bentuk nyata_bukan hanya hal-hal spritual semata. Menerapkan
mekanisme perekonomian, penegakan hukum, aktivitas sosial, serta
hubungan politik antara rakyat dan penguasanya juga bisa diwarnai dengan
pendekatan ruhiyah. Sehingga berjalannya sebuah pola kehidupan politik
dalam masyarakat, tidak selalu dalam wahana paradigma kambing hitam.
Padahal politik merupakan sarana untuk mendapatkan kehidupan yang baik,
tergantung apa dibalik politik tersebut.
Imam Al Ghazali pernah mengatakan bahwa Agama (Islam) dan Negara seperti
saudara kembar. Bahkan tokoh ulama besar di negeri ini, Buya Hamka
berkata Agama (Islam) dan Negara tak bisa dilepaskan. Mohammat natsir,
tokoh politik masyumi sekaligus Ulama juga berpemahaman sama ketika
berdebat dengan Soekarno soal dasar Negara. Termasuk latar belakang
didirikannya Nahdatul Ulama juga motivasi untuk menyongsong kebangkitan
Islam. Lalu mengapa negeri ini seakan lupa? Para pejuang-pejuang
kemerdekaan juga berteriak “Allahuakbar” ketika memperjuangkan negeri
ini. Serta dasar negara juga berbicara : atas rahmat Allah. Maka
seyogyanya, Indonesia kembali kepada khittahnya sebagai Negara yang
religius, dengan menempatkan Islam sebagai ruh Negara dan diterapkan
rill dalam bermasyarakat dan bernegara.
Kekhawatiran adanya diskriminasi sebenarnya tidak pernah terbukti,
karena islam hingga kini tidak pernah dicoba untuk dibumikan dalam
bentuk konstitusi. Kalaupun ada, tidak bersifat totalitas. Adapun
masalah-masalah konflik antar agama hari ini di beberapa daerah, itu
hadir dalam sistem yang saat ini masih bercokol di Indonesia. Dan itupun
tidak banyak kasusnya. Hanya oknum-oknum yang membenci Islam yang coba
membesar-besarkannya. Maka rakyat Indonesia sebenarnya tidak perlu
khawatir.
=========================================================================
Artikel Oleh Gema Pembebasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar