Pembuka Dakwah Islam oleh Dinasti Ghaznawiyyah




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Daulah Abbasiyah adalah sebuah daulah ketiga yang merepresentatifkan dari kekuasaan Islam di dunia telah mampu menunjukkan keheroikannya. Dunia mengakui bahwa daulah Abbasiyyah menjadi pioner kesadaran akan keterpurukan atau “dar age” dunia Barat sehingga berangkat dari daulah inilah Barat akan banyak belajar darinya. Akan tetapi keberhasilannya tentu tidak serta merta muncul tanpa adanya usaha menuju kegemilangan. Dari Abbasiyah inilah nanti kita akan mengetahui keberadaan masyarakat yang mendukung, seperti adanya panglima-panglima terhebat dizamannya serta usaha yang dilakukan dan pengaruhnya. Dinasti Ghaznawiyah dan Dinasti Ghuri adalah bagian dari kekuasaan besar Daulah Abbasiyyah. Pada masanya inilah mereka muncul dan eksistensinya mulai terdengar dan terlihat. Makalah ini akan memaparkan keberadaan kedua dinasti kecil ini yang juga menjadi bagian yang berjasa terhadap kemajuan daulah Abbasiyah. Meski, pada akhirnya dari sini pula daulah Abbasiyah mengalami ketidakstabilan akibat banyaknya dinasti-dinasti yang melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah.
B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah berdirinya, perkembangan, kemajuan, serta keruntuhan dinasti Ghaznawiyah?
2.      Apa saja faktor penyebab kemajuan dan kemunduran dinasti Ghaznawiyah?
3.      Bagaimana sejarah berdirinya, perkembangan, kemajuan, serta keruntuhan dinasti Ghuriyyah?
4.      Apa saja faktor penyebab kemajuan dan kemunduran dinasti Ghuriyyah?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    DINASTI GHAZNAWIYYAH

1.      Sejarah Berdirinya
Ghaznawi adalah nama Dinasti Islam yang didirikan pada 977 M oleh Sebuktegin, seorang jenderal dari etnis Turki yang bertugas sebagai gubernur untuk wilayah Dinasti Samanid. Tidak seperti kebanyakan dinasti lain yang pada umumnya memiliki nama sesuai dengan nama para pendirinya, nama Ghaznawi dinisbahkan pada nama Kota atau nama daerah yang menjadi pusat pemerintahannya, yakni Ghazni, sebuah kota yang terletak didaerah Timur Afghanistan, kira-kira 145 km dari Kabul ke arah Barat Laut.
Sebelum dinasti Ghaznawi didirikan, Ghaznawi merupakan salah satu daerah yang masuk wilayah kekuasaan Dinasti Samanid yang diperintah oleh seorang Amir bernama Abdul Malik. Ketika ia meninggal, seorang komandan pasukan yang berhasal dari budak Turki untuk wilayah Khurasan, Alptigin, bersama Bal’ami (seorang Sejarawan terkenal), mencoba melibatkan diri dalam proses suksesi kekuasaan. Alptigin tidak setuju jika Manshur yang harus menggantikan Malik. Setelah usahanya gagal, kemudian Alptigin melarikan diri bersama sejumlah pasukan yang dipimpinnya dari Khurasan ke Ghazni. Disana, ia membangun kekuatan bersama pasukan yang berasal dari budak Turki untuk menghadapi kekuatan pasukan India. Pada masa itu, Alptigin, meskipun sudah menampakkan keinginannya untuk mendirikan dinasti yang merdeka, masih bertindak atas nama dinasti Samanid.[1]
Setelah kematian Alptigin, menantu yang sekaligus pengawal pribadinya, Subektegin, menggantikan kedudukannya sampai ia meninggal pada tahun 997 M. Sebelum Sebuktegin meninggal, ia telah menunjuk anaknya, Ismail, untuk menggantikannya. Namun, pemerintahan Islamil tidak berusia lama karena setahun setelah penunjukkannya, saudara seayahnya, Mahmud, menakhlukkan kudeta. Mahmud memerintah dari 998-1030 M. Dialah orang yang paling bernilai berjasa bagi  dinasti Ghaznawi.

2.      Perkembangan Dinasti Ghaznawiyyah
Mahmud Sebuktagin adalah pahlawan Islam dan disebut juga sebagai Iskandar Islam, yang tidak sedikit juga padam semangat dalam dadanya hendak menyiarkan Islam di negeri berhala itu. dan telah memulai penjarahan dan penakhlukannya itu pada tahun 1005 M.[2] Mahmud Ghaznawi bukan saja termasyhur karena keahliannya dalam peperangan. Lebih dari pada itu pula kemasyhurannya sebagai pujangga, penyair dan pahlawan pedang dan pena.
Dibawah kepemimpinan Mahmud, wilayah kekuasaan Ghaznawi menjadi semakin luas. Ia memperluas wilayahnya dari bagian Barat Iran hingga bagian Barat India. Di Iran, ia merebut kota Rayy, Isfahan, dan Hamadan yang dikuasai dinasti Buwaihi. Secara politik, Mahmud berhasil menyatukan hampir seluruh daerah bekas dinasti Samanid. Namun demikian, sebagai sultan yang berasal dari seorang ibu yang berstatus budak, ia menyadari bahwa ia membutuhkan pengakuan dari seluruh kalangan masyarakat agar keberadaan dan statusnya benar-benar diakui. Terlebih lagi, saat itu ia akan menjadikan Ghaznawi sebagai dinasti yang betul-betul merdeka. Untuk menumbuhkan kepercayaan itu ia mencoba membangun Ghazni sebagai pusat kebudayaan. Dananya diperoleh dari berbagai daerah takhlukkan baru, khususnya dari India. Dengan usahanya tersebut ia berhasil membangun kepercayaan masyarakat bahwa ia adalah orang yang paling layak untuk menjadi sultan.
Antara tahun 1001 sampai 1024, Mahmud melakukan tidak kurang dari tujuh belas serangan ke India, yang diantaranya berhasil menduduki kawasan Punjab, dan pusat kotanya, Lahore dari penguasa Multan dan Sind. Disana ia berhasil menancapkan pengaruh Islam. Ia pun mendapat penghormatan, dan menjadi teladan mengungguli tokoh-tokoh sezamannya sebagai pemecah berhala sekaligus pahlawan besar dari kalangan Islam. Dalam sejarah Islam, dialah orang pertama yang menerima gelar al-ghazi kira-kira tahun 1001. Gelar ini dianugerahkan karena keistimewaannya dalam perang melawan kaum kafir.[3]
Secara politik Mahmud berhasil menyatukan hampir seluruh daerah bekas Dinasti Samanid. Namun demikian, sebagai sultan yang berasal dari seorang ibu yang berstatus budak, ia menyadari bahwa, ia membutuhkan pengakuan dari seluruh kalangan masyarakat agar keberadaan dan status kesultanannya benar-benar diakui. Terlebih lagi, saat itu ia akan menjadikan Ghaznawi sebagai dinasti yang betul-betul merdeka. Mahmud juga menguasai Asia Tengah dan Persia. Ia telah merampas Iraq, Ray, dan Isfahan dari Dinasti Buwaihiyah. Dua gelar sakral dalam sejarah Islam, Yamin al-Dawlah dan Amin al-Millah, dan gelar sultan dijadikan Mahmud sebagai model ekspedisi ke berbagai wilayah di Asia tengah, termasuk menakhlukkan India. Mahmudlah orang pertama yang mendapat gelar sultan dari Khalifah Abbasiyah, Qader Billah.[4]
Tidak lama setelah memperoleh gelar secara sakral tersebut Mahmud menulis surat kepada Khalifah untuk meminta izin menkhlukkan sisa wilayah Khurasan dan Khalifah mengizinkannya. Selanjutnya, sesudah menganeksasi seluruh Khurasan, Mahmud menulis surat lagi kepada khalifah agar dizinkan menyatukan Samarkan dengan wilayah kesatuannya.
Sangatlah besar perhatiannya terhadap perkembangan keilmuan dan mencintai sarjana dalam lapangan mereka masing-masing. Ghaznawi bukan saja menjadi benteng tempat mempertahankan kekuatan perang, tetapi pun menjadi tempat berkumpulnya ahli-ahli ilmu, ulama keagamaan, ahli fiqih dan bahasa, dan ahli tasawuf dan Falsafah.
3.      Kemajuan yang dicapai

a.       Mahmud memperluas garis batas Barat wilayah kekuasaannya. Disini ia merebut Iraq-Persia, termasuk Rayy dan Isfahan, dari penguasa Buwaihiyah Syiah, yang ketika itu memegang kendali atas nama Khalifah di Baghdad. Sebagai seorang sunni Mahmud, sejak awal masa kejayaannya, mengakui kekuasaan formal Khalifah al Qadir (991-1031).
b.      Dia menghiasai ibukotanya dengan bangunan-bangunan megah, mendirikan dan mendanai sebuah akademi besar, serta menjadikan istananya yang luas sebagai tempat peristirahatan bagi para penyair dan ilmuan. Disana juga berkumpul para sastrawan jenius termasuk tokoh sejarawan Arab, al ‘utbi (w.1036), ilmuan penulis sejarah terkemuka al Biruni dan penyair Persia termasyhur Firdausi yang peringatan kelahirannya yang ke 1000 dirayakan pada 1934-1935 di Asia, Eropa dan Amerika. Ketika, Firdausy mempersembahkan karya eposnya yang terkenal, Syahnamah kepada Mahmud dan hanya menerima 60.000 dirham sebagai penghargaan atas 60.000 bait syairnya.[5]
c.       Memperluasa wilayah kekuasaan dinasti Ghaznawi dari bagian barat Iran hingga bagian bagian barat India
d.      Membangun dinasti Ghoznawi sebagai pusat kebudayaan Islam dengan mendirikan membagun pusat dan lembaga studi,perpustakaan, masjid, serta mengundang para ilmuwan dan para sastrawan untuk tinggal di negerinya.\
e.       Dizaman Ghaznawi juga dua orang pujangga hebat bernama Badi’uz Zaman Al Hamdany dan Abu Bakar Al-Khawarizmiy. Pengaruh kedua orang tersebut dalam bidang sastra Arab sangatlah besar. Hamdany sendiri adalah seorang gubernur Sultan Mahmud di negeri Huraat.
f.       Pembantu baginda seorang wazir ialah seorang pujangga pula ia bernama Al Mayamandi. Pengarang Al ‘Utby mengarang sebuah kitab sejarah hidup Sultan Mahmud Sebuktagin.[6]

4.      Keruntuhan Dinasti Ghaznawiyyah
Sepeninggal Mas’ud III tahun 1115 perebutan kekuasaan yang memmbawa pada perang saudara dikalangan putranya terjadi lagi. Syirzad, anak pertama Mas’ud III, Belum genap setahun menduduki tahta kerajaan (1115-1116), sudah direbut oleh saudara kandungnya, Malik Arslan. Malik menyadari bahwa perbuatan itu akan mengundang perebutan kekuasaan lebih jauh. Karenanya Syirzad bersama beberapa saudaranya yang mendukungnya ditahan, namun seorang saudaranya bernama Bahram Syah, telah lebih dulu melarikan diri ke istana gubernur dinasti Seljuk di Khurasan. Dengan bantuan sultan said sanjar, kakak ibunya yang saat itu menjadi gubernur Seljuk untuk Khurasan., bahram kemudian membangun kekuatan untuk menggulingkan saudaranya, Malik.
Dalam rentang waktu kurang lebih dua tahun, telah terjadi beberapa kali peperangan saudara yang berakhir pada kemenangan pasukan Bahram. Sebelum berakhirnya pertempuran, bersenjataMalik sempat melarikan diri ke India untuk membangun kekuatan baru guna merebut kembali tahta dari tangan Bahram. Tetapi pasukanya tidak cukup kuat karena Bahram dibantu oleh kekuatan Seljuk atas perintah Sultan Said Sanjar, dan malik pun akhirnya tertangkap dan terbunuh.
Selama kepemimpinanya, Bahram pernah melakukan dua kali ekspedisi militer ke wilayah india, sepulang melakukan ekspedisi yang terakhir, terjadi perselisihan antara dirinya dan para pemimpin Gur, sampai-sampai menantunya sendiri yang berasal dari keluarga pangeran Gur yang bernama Qutbuddin Muhammad Guri dibunuh dengan cara diracun. Itulah awal dari perselisihan antara Bhram dan keluarga pangeran Gur.
Bahram syah pernah meninggalkan gazni dan pergi ke Lahore karena mendapat serangan dari saifudin yang merupakan kakak dari Qutbuddin Muhammad Guri, namun setelah Saifudin memimpin Gazni, masyarakat setempat tidak menyukainya, sampai akhirnya Bahram kembali ke Gazni dan dengan bantuan masyarakat Gazni  akhirnya ia kembali dapat menempati Gazni, sampai ia meninggal pada tahun 1157 M.
Setelah wafatnya Bahram, anaknya yang bernama Kusraw syah menggantikanya dan berharap dapat menghidupkan kembali dinasti Ghasnawi dengan meminta bantuan kepada Sultan Sanjar dari Seljuk. Namun keadaan Seljuk saat itu sudah mulai melemah. Ketika Kusraw Malik putra Kusraw Syah naik tahta, Ghasnawi tidak lagi di Gazni, tapi berada di Lahore. Ghazni sudah berada dalam kekuasaan orang-orang Ghuzz. Wilayah-wilayahnya juga sudah dalam genggaman Dinasti Ghuri. Kusraw Mali dengan sisa kekuatannya mencoba mempertahankan Ghaznawi dengan meminta bantuan kepada orang-orang Hindu. Akan tetapi tidak berhasil dan membuat Muhammad Ghuri semakin marah dan akhirnya ditangkap dan dipenjarakan bersama anaknya di Guristan sebelum keduanya terbunuh. Dengan terbuhnya Kusraw Malik, maka berakhirlah Dinasti Ghaznawi yang beraliran Sunni setelah berjalan selama dua abad.

5.      Faktor-faktor Kejayaan

a.       Pada awalnya ketundukan kepada Allah SWT dengan cita-citanya mendakwahkan Islam dan memperteguh niatnya hendak menakhlukkan tanah India yang luas itu.[7]  Hingga pada akhirnya mampu membawa Mahmud Ghznawi menjadi pemimpin yang agung.
b.      Mendapat dukungan, izin serta kepercayaan dari Khalifah Qader Billah untuk menakhlukkan serta menyebarkan Islam keberbagai wilayah.
c.       Mahmud adalah panglima yang kuat, serta orang yang tegas dalam pendirian serta mempunyai visi yang teguh. Terbukti saat ditawari penjaga kuil termasuk para Brahmana mengajukan atau menawarkan kepadanya agar ia tidak menghancurkan tempat penyembahan mereka dengan imbalan mengangkut 30.000 pasukan kuda, emas dan perak serta barang-barang berharga lainnya. Tawaran itu ditolak Mahmud dengan perkataan sendiri : man buth frush nist, bal buth sheken hastam. Artinya, “saya bukan penjual berhala, melainkan datang untuk menghancurkannya”. Peristiwa diatas hampir sama ketika keteguhan Rasululloh SAW saat berdakwah di Makkah. Ketika kaum kafir Quraisy mendatangi paman beliau Abu Thalib untuk meminta menghentikan aktivitas dakwah. Namun Nabi Muhammad tetap teguh meski diberikan iming-iming dengan harta, tahta, dan wanita.

6.      Faktor-faktor Keruntuhan

a.       Adanya perselisihan internal dalam keinganannya menguasai Ghaznawi. Seperti yang terjadi adanya perselisihan putra Mahmud yakni Mas’ud dan Muhammad.
b.      Ketika Mas’ud menjadi pemimpin wilayah barat Ghaznawi rapuh. Adanya ketidakseimbangan Mas’ud dalam mengurusi wilayah kekuasaanya. Terbukti wilayah timur menjadi fokus perhatian sehingga wilayah barat diabaikan. Dan juga adanya ketidakmmapuan menjaga hubungan antar etnis
c.       Secara umum adanya kekacauan dalam hubungan kekeluargaan dalam urusan kekuasaan.
d.      Adanya serangan dari Muhammad Ghuri ke dalam wilayah Ghaznawi.
e.       Ghaznawi tidak ditopang kuat oleh angkatan bersenjata, dan tatkala tangan kuat yang mencengkeram pedang telah mundur, maka semuanya segera menemui kehancuran.


[1] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 149.
[2] Hamka, Sejarah Ummat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 121.
[3] Philip K. Hitty, 2006, History of The Arab (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta), hlm. 589.
[4] M. Abdul Karim, Bulan Sabit di Gurun Gobi (Yogyakarta: SUKA Press, 2014), hlm. 40.
[5] Philip K. Hitty, History of The Arab. hlm. 589
[6] Hamka, Sejarah Ummat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 124.
[7] Hamka, Sejarah Ummat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 121.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar