Budaya Ilmu Dalam Islam



Ust. Anton
 (Alumnus Gontor, Pengasuh Pondok Mualimin Yogyakarta)



Dunia kini memang erat dicengkeram dengan paham sekuler. Paham yang sangat berbahaya khususnya bagi umat Islam. Pada tataran dunia perkuliahan pun tidak terlepas dari paham ini. Contoh, ketika memasuki kelas di salah satu Universitas umum di Jogja, ada kasus salah satu mahasiswanya diminta untuk menanggalkan agamanya di luar kelas. Artinya apa?  ketika sudah memasuki ruang kuliah jangan sekali-kali membawa keyakinan, berbicara tentang keyakinan, apalagi dakwah diruang kelas. Semua itu tidak boleh terjadi di dalam kelas.  Ada juga, ketika hendak bicara Islam silahkan pindah ke fakultas syari’ah. Pernah suatu ketika dihadapkan pada realita seperti ini. Padahal kami duduk dikampus yang berbasiskan Islam, tetapi pada faktanya diminta pindah fakultas terlebih dahulu ketika ada gerak-gerik dan angkat bicara tentang Islam.  Ini sangat mengerikan. Kita Muslim, tidak diajarkan untuk meninggalkan keyakinan kita yakni Islam dimanapun itu. Fenomena ini seolah tidak lagi menjadi masalah ketika kita berada dalam era saat ini.

Banyak juga orang beranggapan bahwa wahyu adalah satu persoalan, dan ilmu pengetahuan adalah persoalan yang lain. Itu cara berfikir khas sekuler. Sebaliknya, didalam Islam ketika wahyu itu turun maka budaya ilmu itu sudah dimulai. Sampai sekarang di Barat itu isu-isu yang paling booming bagi para pemikir Barat adalah agama dan sains itu suatu hal yang berbeda. Mereka ramai membicarakan tentang nalar dan wahyu juga dua hal yang tidak bisa disatukan. Maka kita akan jumpai sejarah gelap Barat sehingga lahirlah ide sekuler itu dari peradaban mereka. Namun, dalam peradaban Islam. semua itu tidak pernah kita jumpai.

Sekarang umat Islam dihadapkan pada keadaan yang demikian (paham sekuler yang semakin menggurita), bukan karena Islam tidak cocok dengan pengetahuan, ilmu atau sains. Terlepas dari masing-masing mendefinisikan kata-kata itu. Tetapi persolan itu muncul bukan karena Islam itu bertentangan. Islam kini dihadapkan pada sains sekarang yang sama sekali berbeda dengan sains yang dahulu diciptakannya. Islam sekarang dihadapkan pada sains yang direproduksi oleh peradaban Barat yang kharakteristik peradabannya sekuler atau watak peradabannya atheis, itu permasalahannya.

Coba kita perhatikan dan pahami:
“kira-kira orang yang beriman kepada Allah dengan orang yang tidak beriman, komposisi di dalam benaknya sama atau berbeda?”
“kira-kira kalau orang yang beriman kepada Allah dengan orang yang tidak beriman cara berfikirnya untuk memahami realitas sama atau berbeda?”
“ketika memahami realitas yang berbeda, lantas ketika membangun konstruksi teoritis sama atau berbeda?” tentu semuanya akan berbeda.
            Karena apa? persoalan pandangan dunia itu tersimpan pada relung-relung teorinya. Barat mengubah sains menjadi sekuler membutuhkan waktu yang tidak singkat. Mereka membutuhkan waktu 300-400 tahun. Sedangkan kita umat Islam kini ketika ingin mengembalikan itu semua bagaimana mungkin dalam waktu 5, 10, atau 20 tahun mengubah itu semua? Tentu tidak mudah. Maka dibutuhkan adanya banyak faktor pendukung. Dibutuhkan kesadaran, dan keinginan untuk mengubahnya serta kondisi yang memungkinkan untuk mengubah itu semua.
Ketika perang salib selesai, orang Barat mulai sadar bahwa Islam tidak bisa dikalahkan dengan militer. Orang Islam itu kalau dipancing emosinya akan “ngamuk”. Orang Islam jika disinggung agamanya seperti contoh penghinaan terhadap Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wassalaam dan al-Quran dilecehkan apalagi secara fisik dilecehkan maka kaum Muslimin diseluruh dunia akan “melawan”. Dalam sebuah riwayat sudah diketahui bersama, bahwa tindakan pelecehan tidak akan dibiarkan dalam Islam. para sahabat telah mencontohkan. Dikuatkan dengan diamnya Rasul, yang mempertandai bahwa itu semua tidak bisa didiamkan. Akan tetapi, kalau “digeser secara mikirnya” itu mudah. Hanya saja Barat sadar betul, “Konstruksi Peradaban Islam” pada saat itu tidak mudah dihancurkan. Maka para pendeta mulai sadar. Grupnya Paus Urbanus beranggapan bahwa perang salib sudah selesa. Perang salib mereka kalah. Akan tetapi, ada grup lain yang diwakili oleh kristen juga mereka mulai sadar untuk mencoba mengambil secara pelan-pelan konstruksi ke ilmuan orang Islam, ditarik satu persatu, memang tidak mudah.

Maka, pada saat itu kita temukan ada gereja yang lebih setuju dengan Ibn Rusyd. Ada juga gereja yang lebih setuju dengan Imam Ghazali. Maka akan ditemukan perdebatan antara Agustinus vs Thomas al-Aquinas. Itu perdebatan antara Ibn Rusyd dengan Imam al-Ghazali, yang kemudian diserap oleh mereka dan dibenturkan.

Tetapi inga, Islam itu menurut yang dikemukakan sejarawan Muslim Ust. Jazir
“Itulah hari-hari yang Kami putarkan, Kami gilirkan diantara manusia”. Apa konsekuensinya?

Pasca peran salib seolah-olah umat Islam masih kukuh kuat. Tetapi ingat kukuh kuat dalam rentang waktu ratusan tahun itu bukan persoalan sederhana. Pasca perang salib terusir, Islam sudah mulai stabil. Maka disanalah kaidah sejarah terjadi. “Kenyamanan membuat orang terlena”. Ketika pasukan Barbar / Tartar menyerang Baghdad kita umat Islam dalam kondisi tidak siap. Maka terjadilah peristiwa sejarah yang sangat memilukan. Bagdad berubah menjadi lautan darah. Meskipun pada akhirnya nanti terdapat keturunan dari pasukan Barbar akan ada yang masuk Islam hingga akhirnya berhasil membuat kekuatan dinasti yang dikenal dengan “Jodha Akbar” dan keturunannya yang bernamakan khan. Akan tetapi peradaban Islam tidak sekukuh seperti sebelumnya.

Pada tahun 1453 kembali umat Islam menunjukkan kemampuannya dalam melanjutkan dakwah Islam. Melalui sebuah kekuatan politik yang kuat, karena diketahui bersama al-Fatih mempunyai darah keturunan bangsa Seljuk yang militernya tidak terkalahkan. Namun, dibelahan dunia Islam yang lain terjadi peristiwa yang sangat menyakitkan. Disaat ‘Utsmaniyyah berhasil menakhlukkan Eropa. Muslim di Andalusia harus mengalami pengusiran selama-lamanya sampai detik ini. Ini fakta sejarah. Disaat al Fatih memenangkan dan berhasil meninggikan derajat Islam, di saat yang sama juga umat Islam kehilangan sebuah tempat dimana peradaban Islam mencapai puncak kejayaan yang mencapai situasi antara agama dan sains mampu hidup tidak terpisah seperti sekarang.

Kita mengenal Ibn Hazm ketika menulis kitab Tauqul Hamamah Kitab tentang persoalan cinta. Tetapi bukan percintaan seperti saat ini. (bisa dibaca, dan didalami sendiri). Ketika Muslim Spanyol terusir, Spanyol berubah menjadi pusat keilmuan Barat. Yang kemudian persebaran keilmuannya meluas sampai ke London, Paris, Belanda, Italia, dll. Apa hasilnya? Kita jumpai tokoh-tokoh seperti Decard tentang empirisismenya. Mulai terlihat watak peradaban Barat yang dikotomik, sekuler. Meninggikan rasionalitas, maka kemudian muncullah tokoh seperti Imanuel tokoh filsafat kritis yang mencoba mendamaikan rasioalitas dan empirik. Kemudian muncullah Hegel, yang mempunyai murid Karl Mark dan lahirlah Materialisnya. Grup lain seperti Positivisme muncul yakni August Comte grup ekstrim yang lahir dari Paris bukan Inggris. August Comte inilah yang akhirnya menjadi pijakan sains Barat berkembang pesat. Disaat yang sama peradaban Islam dalam kondisi timpang setimpangnya. Ini yang harus diketahui dan dipahami umat Islam saat ini. Bukan justru, terperosok dengan mengagumi peradaban Barat dengan paham sekulernya. Kita akan lihat nanti bagaimana dasar peradaban Islam yang begitu agung dan tidak sepatutnya umat Islam, menjauh, ragu apalagi tidak memiliki rasa menegmbalikan peradaban Islam itu.


Adapun sekarang peradaban Islam ingin bangkit, sambil juga dihajar dari sana dan sini oleh peradaban lain. Watak ilmu yang hendak kita gunakan saat ini adalah ilmu yang sekuler dan atheis tadi. Makanya umat Islam sekarang ini dalam kndisi kebingungan antara bagaimana mendamaikan atau menyatukan seorang Muslim yang shalih dengan seorang saintist yang kreatif. Ini bukan perkara yang mudah. Seorang Muslim menjadikan asumsi dasarnya bahwa “ALLAH MAHA KUASA”. Sangat berkuasa dalam segala hal sampai kekausaan itu menyentuh aspek-aspek partikularia, keyakinan itu harus berbenturan pada ala watak dasar sains yang mengatakan bahwa “kita tidak butuh penjelasan mengenai Tuhan”. Mengenai fenomena semesta alam ini. Maka jangan kaget, bahwa Barat tidak akan bisa menjelaskan antara sains dan agama karena memang watak mereka (Kristen) itu anti ilmu. Sementara Muslim harus berhadapan dengan watak sains yang sekuler. Karena watak mereka berbeda dengan watak sains kita (Muslim). Maka yang harus kita tegaskan adalah:
“Watak ilmu kita sudah ada sejak Islam datang. Sejak Al Quran diturunkan pertama kali itu sudah membawa suatu tradisi baru. Dimana peritah dan pijakan tradisi ilmu kita itu adalah IQRA”.

Bisa kita bayangkan, sebuah masyarakat yang tidak membaca bahkan lebih dari itu, membaca adalah suatu perbuatan yang dianggap memalukan. Khutab itu ada sejak sebelum rasulullah lahir di tanah Arab. Khutan itu tepat belajar dimana mereka yang ingin belajar dipersilahkan datang ke rumah-rumah. Terakhir kalinya khutab itu ada di Mesir pada tahun 1950 M. Karena budaya sebelum datangnya Rasululloh itu bukan membaca makanya khutab itu tidak laku. Lebih ekstrim lagi, membaca itu adalah suatu hal yang memalukan. Karena suatu ukuran kecerdasan dan kebijaksanaan pada saat itu adalah menghafal dan melakukan reproduksi syair yang secara spontan dan kreatif. Maka syair produksi kerena masyarakat jahiliyah Arab pada saat itu akan ditempelkan di Kabah yang dikenal dengan sebutan “Mu’allaqod” atau digantungkan disana. Maka apabila ada orang yang membacanya akan dikira sebagai orang plagiasi.

Dalam culture yang seperti itu, tiba-tiba Allah menurunkan perintah yang membuat Nabi Muhammad sakit. Kita tentu ingat bagaiman proses Rasululloh menerima wahyu pertamanya. Karena itu semua bertentangan dengan watak kebudayaan. Perintah Allah adalah perintah yang asing, dan tidak dikuasi oleh Rasululloh kala itu. Apa perintah itu? yakni IQRA’..
Namun, disanalah umat Islam mempunyai pijakan epistimologis yang luar biasa dari wahyu tersebut. Bahwa ada satu perintah untuk “membaca”. Yang nantinya akan menjadi pijakan pengembangan budaya ilmu yang sekaligus meruntuhkan watak kebudayaan Arab yang tidak membentuk peradaban unggul sejak dulu. Dan perlu diingat, musuh peradaban Islam itu sangat banyak. Melintang dari ujung Timur hingga Barat. Yunani, Romawi, Persia, India, Cina. Tetapi ada yang menarik adalah pijakan yang diberikan oleh Rasululloh dari wahyu dan bukanlah sederhana. Ada perintah selanjutnya  “Bismirobbikalladzi kholaq”. Ayat ini sangat berbeda denganwatak peradaban Barat atau sains Barat.
“Perintah membaca disatu persoalan kemudian mengaitkan tentang Allah ada persoalan lain. Ini perintah membaca sekaligus kesadaran bahwa Allah adalah sang Pencipta”.

Berbeda dengan “Bonaparte” ketika ditanyai:
“Kok kamu tidak menyebutkan Tuhan satupun dalam penjelasanmu?”
Jawabnya, “Saya tidak butuh penjelasan mengenai Tuhan”.

Realita yang sangat berbeda dengan Muslim, meskipun membaca secara teks. Tetapi epistimologis Muslim ketika melihat persoalan apapun harus ada kesadaran bahwa Allah itu Rabb tidak boleh hilang. Makanya, umat Muslim tidak bisa jadi seorang peneliti yang dilaboratorium sekalipun kemudian mengatakan:
            “saya disini bukan sebagai seorang Muslim tetapi sebagai akademisi”
            “saya disini bukan sebagai seorang Muslim tetapi sebagi profesor”
            “saya disini bukan sebagai seorang Muslim tetapi sebagai laborat” dan sebagainya.
Artinya apa? Apapun posisi kita sekarang ini tidak boleh terlepas bahwa Allah itu Sang Pencipta.

            Perlu diketahui, pijakan inilah yang harus dipahami. Para sahabat Nabi Muhammad itu bukanlah orang-orang yang hobinya perang dan bodoh. Karena kalau kita tidak melihat aspek ilmu peradaban Islam awal maka kita akan melihat bahwa para sahabat nabi hanya dari aspek luar yang mungkin kita jumpai sosok seperti umar yang “keras”. Jikalau kesimpulan seperti itu, adalah sebuah penghinaan terhadap mereka.  

            Selanjutnya, epistimologi adalah “Iqra’ warobbukal akrom, alladzi ‘allama bilkolam”. Inilah proses pengembangan ilmu. Maka setelah ayat ini turun, ciri khas peradaban Islam itu sangat luar biasa. Pernah suatu ketika amirul mukminin Umar Ibn Khathab bercerita.

                        “dulu kami bagi penggembala domba, kami akan mencari kongsi/ teman. Kalau hari ini kami mendengarkan pelajaran dari Nabi Muhammad maka teman-teman kami akan menggembala domba. Nanti setelah selesai pelajaran Nabi, kami akan segera memberikan kepada teman-teman mengenai hasil dari pelajaran Nabi. Hari berikutnya sebaliknya, bergantian. Lama-lama diantara kami ada yang bosan karena tidak bisa fokus belajar. Maka, kami menjual semua dombanya dan kami fokus belajar”.

            Bayangkan, pelajaran luar biasa kita dapatkan dari pribadi-pribadi sahabat. Ada beberapa aspek yang kita dapatkan dari peristiwa tersebut. Pertama, kecintaan sahabat kepada Nabi Muhammad  yang diilustrasikan kepada kesenangan mereka berinteraksi. Sehingga, harus merelakan semua dombanya untuk belajar kepada nabi. Mereka secara cermat mengamati segala aspek yang berasal dari Rasululloh. Makanya, jangan kaget jika hadist itu jumlahnya ada banyak.

            Memang, kita akan menjumpai fenomena kajian fiqh dari sahabat yang dilihat dari perspektifnya. Sebagai contoh, pembacaan bismillaah dalam surah al-Fatihah. Pertama ada yang beranggapan bahwa bismillah adalah bagian dari al Fatihah, kedua beranggapan bahwa bismillaah bukan bagian dari al-Fatihah. Terlepas dari kajian fiqh, namun yang menjadi perhatian disini adalah perilaku sahabat. Mereka ada yang mencermati Rasululloh dari dekat, ada juga sahabat yang mencermati Rasululloh agak jauh, dan ada juga yang mencermati beliau dari jarak jauh. Maka dari itu bisa kita ketahuai sahabat itu sedemikian rupa mencermati Rasululloh.

            Fenomena lain juga bisa kita lihat dari murid imam Hanbal. Jumlah muridnya sebanyak 4000 orang. Dulu itu belum ada speaker, maka bagaimana caranya agar 4000 orang tersebut bisa mendapatkan pelajaran dari imam Hanbal? Satu, ada yang mengatakan jumlah murid yang mencatat sebanyak 500 orang. Bagaimana dengan jumlah sisa muridnya yang tidak mencatat? Mereka melakukannya dengan penyampaian rantai. Satu orang yang sudah mendapatkan ilmu, akan segera berdiri dari proses menghafal sehingga akan disampaikan pada temannya yang belakang dan seterusnya. Kedua, ada yang mengatakan juga dangan cara posisi duduk mereka yang ditinggikan, sehingga akan mampu tersampaikan apa yang disampaikan oleh sang imam kepada muridnya.

            Coba perhatikan, dan cermati. Kalau perilaku murid imam Hanbal saja sedemikian luar biasanya. Bagaiamana perilaku sahabat kepada Rasululloh?. Tentu lebih luar biasa. Dan yang lebih menarik adalah semua yang mereka bincangkan menjadi pijakan-pijakan cara hidup umat Islam.

            Sekarang kita lihat, dengan peradaban Barat. Adakah yang tahu bagaiaman cara makannya Aristoteles? Bagaimana JJ. Rosseou pergi ke kamar mandi? Bagaimana riwayat Newton ketika kejatuhan aple? Apa yang dia ucapkan? Dan yang tokoh yang masih dianggap sebagai pijakan contoh yakni Einstein. Kira-kira apa yang dia katakan saat mengajar?. Artinya apa? Peradaban Barat itu tidak mempunyai tradisi mencermati sebagaimana peradaban Islam itu melahirkan Ilmu. Kita bisa melihat perbedaan yang mendasar antara kedua peradaban ini. Rasululloh mampu membentuk pribadi sahabat dengan sedemikian rupa. Mereka dapat meriwayatkan peristiwa yang sangat detail. Itu semua karena aqidah Islam.

            Dari sekitar 120.000 sahabat nabi mereka mempunyai spesifikasi keilmuan yang bermacam-macam. Kita mengenal sahabat dengan keahlian halal dan haram, ia adalah Muadz bin Jabal. Kita juga akan mengenal sahabat yang mempunyai kemampuan mengetahui dan menyimpan rahasia orang-orang munafiq. Rasululloh meminta agar tidak ada seorangpun yang mengetahui selain dirinya dan Rasululloh, ia adalah Khudzaifah al-Yaman. Sampai-sampai Umar bin Khathabpun tidak mengetahuinya. Dan ia pun mencoba bertanya pada Khuzaifah dengan sangat cerdas. “Apakah aku bagian dari orang munafiq?” kata Umar. Khuzaifah pun menjawab “bukan”. Satu hal yang Umar rasakan, ia bersyukur karena tidak termasuk. Hingga kita akan jumpai, siapa sosok yang membunuh Umar bin Khathab adalah ia yang termasuk orang munafiq. Belum lagi, bagaimana cara Khalifah Umar bin Khatab menyehterakan rakyatnya, hatta bayi yang masih dalam kandungan adalah menjadi tanggungan khalifah untuk memenuhi kebutuhannya. Sahabat Usman, ia seorang administrator yang hebat, dan  sudah sangat canggih dimasanya.
            Apa kesimpulannya? Para sahabat secara alamiah telah mampu menjadi ilmuan-ilmuan baru yang mengembangkan konsep-konsep kunci dalam peradaban Islam. Fenomena lain yang akan kita jumpai ketika Rasululloh wafat. Masihkah ingat? Bagaimana mereka menentukan tempat tinggalnya masing-masing. Ada sahabat yang karena kecintaannya kepada Rasululloh mereka tetap tinggal di Madinah. Ada sahabat yang saking cintanya dengan Rasululloh maka mereka pergi dari Madinah ingin melanjutkan dakwah. Ada juga sahabat yang saking cintanya dengan Rasululloh dan ingin melupakan kesedihannya mereka pergi ke tempat lain. Maka apa yang muncul? Kita akn menjumpai lagi fenomena kelimuan fiqh dizaman setelah Rasululloh. Ada yang dari negeri Syam, kita mengenal sahabat Mu’awwiyah, di Iraq kita akan jumpai Abdulloh bin Mas’ud, di Makkah kita kenal Ibnu Abbas, di Madinah kita kenal sosok Ibnu Umar, di Mesir ada sahabat Amr bin Ash, dll.

            Dari itulah perlahan-lahan kita akan ketahui keilmuan dalam peradaban Islam berkembang pesat. Sejak 100 H / 723 M ilmu-ilmu Islam menjadi disiplin-disiplin ilmu yang solid. Pada kisaran tahun 100-200 H terjadi pematangan ilmu fiqh yang luar biasa. Antara 200-250 H ada Hadist. Tahun 250-300 H terdapat ilmu kala atau dikenal dengan tafsir. Di masa inilah al-Qurtubi hidup. Tahun 300-400 ilmuan Ibn Ruysd, Imam al Ghazali. Dan setelah itulah ilmu-imu humaniora berkembang pesat. Muncullah ilmu persuratan, ilmu catatan kaki, dan setelah itu berdirilah Universitas pertama kali di Maroko. Kita juga ingat Abbas Ibnu Firnas hidup dimasa-masa setelah itu di Spanyol. Dan masih banyak ilmuan yang sepesifikasi dibidangnya serta mereka terlahir dari peradaban Islam yang jelas berbeda secara dasar dengan peradaban lain.

            Kesimpulan apa yang dapat kita pelajari disini? Pertama, watak ilmu peradaban Islamitu ada sejak wahyu turun pertama kali. Dan budaya ilmu itu paling kuat didorong karena wahyu. Kedua, generasi awal dalam peradaban Islam itu, dalam kondisi di intimidasi secara fisik. Kita temukan mereka disaat yang sama mereka mampu berkembang menjadi ilmuan-ilmuan yang baru dalam kondisi yang sulit, tidak mudah. Sahabat Rasululloh mampu berkembang menjadi ilmuan-ilmuan baru dalam kondisi penyiksaan, boikot, kebutuhan untuk berhijrah, pertempuran, dan kondisi yang sedemiian gentingnya. Sejak nabi hijrah ke Madinah, rata-rata terjadi pertempuran setiap dua bulan. Akan tetapi, pada kenyataannya mereka luar biasa mampu menjadi masyarakat yang berilmu. Berarti mentalitas belajarnya mereka tak dapat diragukan. Maka, apabila generasi salafusshalih hanay disebut sebagai orang-orang yang shalih dan petempur yang hebat maka itu “mengkerdilkan” wajah peradaban Islam. kita dapat lihat mereka sebagai orang-orang yang shalih, petempur-petempur yang hebat, dan mereka juga ilmuan-ilmuan yang prototipe yang luar biasa.

            Ingat! Sekarang ini ilmuan-ilmuan dalam kondisi kenyamanan. Kalau tidak dibiayai oleh pemerintah, dapat beasiswa dari lembaga dalam maupun luar negeri dengan segala kepentingannya bahkan cenderung tidak mengembangkan berdasarkan kebutuhan rakyat, justru sebaliknya. Mereka dipekerjakan untuk para kepentingan “kapitalis”. Atau fakta, mereka hanya sebagai seorang laborat-laborat yang hanya dibidangnya tanpa peduli yang lain. Ini menjadi bahan muhasabah kita bersama-sama. Termasuk yang manakah kita?. Banyak sekarang ini mereka tahu sangat detail tentang salah satu bidangnya, misal mereka ahli sel. Akan tetapi mereka disaat yang sama tidak mempedulikan kehidupan sosialnya, masalah umat, dll. Dijumpai orang yang berilmu, sekelas Profesor dijumpai kemampuan sosialnya justru menurun. Karena bahasan mereka sudah berbeda, seolah tidak lagi “nyambung” ketika terjun ke masyarakat.

            Tetapi bandingkan dan lihatlah sahabat Nabi. Disaat yang sama mereka mampu menjalankan peran sosialnya yang sangan luar biasa dan maksimal. Sebagai pribadi yang shalih, bahkan ke shalihannya mampu melampaui batas. Kita ingat kisah tabi’in Urwah bin Zubair. Ia adalah putra Zubair bin Awwam. Ketika kakinya membusuk karena bakteri, ia tidak ingin disaat kakinya hendak dipotong tetapi disaat yang sama ditawarkan oleh seorang dokter untuk diberiobat bius. Apa yang ia katakan? Bagaiamana mungkin, seseorang mau-maunya dihilangkan rasa sakitnya tetapi disaat yang sama dihilangkan juga ingatannya kepada Allah?” ia lebih mempertegas lagi, bahwa tugas dokter adalah memotong. Dan urusan sakit atau tidaknya itu urusan dia dengan tubuhnya. Sungguh sosok yang luar biasa kita jumpai generasi tabi’in. Dan satu hal lain lagi yang lebih mencengangkan adalah ketika kaki sudah dipotong, ia meminta dokter untuk memberikan kakinya padanya. Apa yang ia katakan? “laa amsi bihi illaa maksiat” sambil menunjuk kaki yang telah dipotong, “Aku tidak pernah membawamu kepada maksiat sekalipun”. Masyaa Allah, ketika kita lihat bagaimana kita telah banyak melakukan maksiat, allohummaghfirlanaa. Ia seorang tabi’in yang dengan tegar dan bersyukur tidak pernah sekalipun membawa kakinya kepada kemasiatan sekalipun.  Kalimat itu menyadarkan kepada kita, bahwa kita ini generasi yang sangat jauh perbandingannya dengan mereka. Disaat yang sama luar biasa mereka memerankan peran sosialnya, semuanya dikembalikan pada Allah. Semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Inilah gambaran ilmuan-ilmuan generasi awal peradaban Islam. Banyak hal yang bisa kita ambil, kita lanjutnya segala yang sudah ada dan jangan pernah sekalipun mundur. Semua ini adalah pengingat bagi kita umat Islam secara khusus. Maka, sedikitpun jangan pernah berdiam diri, dan jauhkanlah diri kita dari segala apapun yang membawa kita terperosok pada mundurnya pemahaman Islam, dan jangan sampai kita terlena hingga terjebak.

#ayoNgaji #stopmaksiat #maritaat #marimenyeru #hingga #dapat #sepetaksurga #seberkasilmu #kamis #bulanMuharram

Yogyakarta, 16 Muharrom 1437
Al-Faqir yang mencatat dan melengkapi
Rizka K. Rahmawati  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar