“ISLAM MODERAT: SENJATA ASING MENYERANG ISLAM”


Istilah Islam Moderat hingga saat ini masih saja disebarkan para pengusungnya. Istilah ini terus bergulir, bahkan akhir-akhir ini justru bertambah gencar. Sikap moderat atau jalan tengah sendiri mulai dikenal luas pada masa abad pencerahan di Eropa. Sebagaimana diketahui konflik antara pihak gerejawan yang menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat dan kaum revolusioner yang berasal dari kelompok filosof yang menginginkan penghapusan peran agama dalam kehidupan menghasilkan sikap kompromi. Sikap ini kemudian dikenal dengan istilah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan publik. Istilah ini menjadi buming setelah pihak Barat mentransfer pemikiran ini kepada intelektual muslim. Terbukti, karena pentingnya istilah ini maka pada edisi tahun 2000 keatas American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial. Sedikitnya ada tiga kelompok yang memperebutkan arti moderat ini yaitu mereka yang anti-Islam, orang Barat dan orang Islam. Istilah Islam Moderat menurut Dr Hamid Fahmy Zarkasyi nampaknya berfungsi sebagai penjinak “terorisme”. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak “fundamentalisme”. Di tahun 2008 agenda besar digelar dengan bentuk  Symposium bertempatkan di Tokyo Jepang. Isunya adalah tentang arti Muslim moderat dan masa depan politik Islam.
Acara besar itu tidak berhenti begitu saja, serentetan acara pasca Symposium di Tokyo akhirnya bergema juga di Indonesia, khususnya kalangan intelektual. Universitas berbasiskan Islam ataupun umum ternyata terkena imbasnya. Terbukti, penulis temukan berbagai agenda dibawah ini yang merupakan serentetan acara erat dengan isu “Islam Moderat”. Siapa yang tidak mengenal Syafi’i Ma’arif? Sosok intelektual dari gerakan Muhammadiyah yang dikenal dengan buya Syafi’i menawarkan pemikiran Islam moderat progresif yang inklusif bagi kemanusiaan. Bahkan, UMY secara khusus mendirikan lembaga “Ahmad Syafi’i Maarif of Political Thought and Humanity”. Bertujuan untuk mewariskan pemikiran Buya Syafi’i kepada pemuda pemudi intelektual Indonesia. Penawaran unggulan yang mereka berikan yakni, Beasiswa untuk mahasiswa S3 khususnya dikalangan Muhammadiyah, pemberian dana penelitian bagi dosen, seminar, serta pembuatan jurnal,dll.
Selain di UMY, UIN Sunan Kalijaga juga telah banyak menyelenggarakan agenda berbasiskan ide “Islam Moderat”. Akhir tahun 2014 UIN bekerjasama dengan BNPT menyelenggarakan Seminar Penanggulangan Terorisme di Lingkungan Kampus. Pada intinya acara tersebut telah mengajak kalangan Mahasiswa untuk tidak terjebak pada gerakan radikal dan terorisme yang secara istilah dibuat oleh BNPT itu sendiri. Acara itu menghadirkan ketua BNPT yakni Irfan Idris, dll. Menurut BNPT gerakan “radikal” dan “terorisme” adalah mereka yang menolak Pancasila, Demokrasi dan HAM. UIN juga bekerjasama dengan FKPT (Forum Komunikasi Pencegahan Terorism) DIY menyelenggarakan workshop bertajuk “Peran Tokoh Agama dalam Pencegahan Terorisme”. Menghadirkan KH. Abdul Muhaimin yang menyampaikan materinya tentang toleransi berbasis kearifan lokal. Dr. Mukhtasar Syamsudin (Dekan Fakultas Filsafat UGM) mengangkat materi Peta dan Narasi Terorisme di DIY, Prof. Dr. Noorhaidi Hasan (Guru Besar UIN dan Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga) menyampaikan materi Peta Pemikiran dan Gerakan Islam Radikal di Indonesia. Kesimpulan yang didapat dalam forum ini adalah kalangan agamawan tidak boleh ketinggalan dalam menanggulangi gerakan “radikalisme”.
Kurikulum toleransi yang disini adalah kebebasan meyakini kebenaran agama lain juga erat terjadi di kalangan kampus berbasiskan Islam. UIN dengan jurusan Perbandingan Agama melakukan agenda rutin setiap perayaan keagamaan selain Islam selalu turut serta dalam perayaan tersebut. Belum lagi masalah materi perkuliahan yang mewajibkan mahasiswanya berkunjung ke gereja, vihara, dll. Kurikulum toleransi itu mengacu pada KKNI acuan terbaru dari pemerintah, maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi. Pada tanggal 4-7 Agustus 2015 digelar Workshop Nasional Standar Isi dan Standar Proses yang mengacu pada KKNI dan SNPT bagi Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri se-Indonesia. Belum lagi banyaknya tawaran pndanaan mengani riset Islam Nusantara, dan kajian Islam lainnya.
Islam Moderat yang terus saja disosialisikan sebenarnya bertujuan untuk apa? Penulis mengutip dari tokoh Barat yakni Ariel Cohen dalam Journal yang diterbitkan www.herritage.org ia mengatakan untuk menghadang atau melawan Islam radikal salah satu caranya yakni membenturkan dengan kelompok Islam Moderat. Iapun juga telah mempublikasikan risetnya dengan judul “Hizb-ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S Interest in Central Asia”. Lain halnya dengan Andre M. C. Charthy dalam National Review Online pada tanggal 24 Agustus 2010 mengatakan “Siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan Moderat”. Parahnya lagi istilah moderat adalah mereka yang pro humanisme Universal, menghormati hak menafsirkan al-Quran, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau bahkan tidak percaya dengan Allah, menentang pakaian Islam, tidak bereaksi ketika Nabi Muhammad dan Alqur’an dikritik bahkan dihina, pro Israel, menentang supremasi Islam atau Khilafah, menganggap Nabi Muhammad bukan contoh yang patut ditiru, pro kebebasan beragama, dan kesetaraan gender, semuanya bisa dibaca dalam situs “muslimagainstshariah”. Rabbas juga sejalan dengan yang diopinikan BNPT moderat yakni mereka yang mendukung HAM, Demokrasi, dan kesetaraan gender. Fuller tidak mau ketinggalan, ia mengartikan moderat yakni mereka yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Kesimpulan yang penulis dapatkan adalah Islam moderat yakni mereka yang menolak dan menggugat Syar’at Islam secara kaafah.
Lantas, ketika Intelektual muslim mengetahui fenomena “Islam Moderat” yang sangat berbahaya, apa yang harus dilakukan? Satu-satunya cara yang bisa menghentikan pergerakan Islam Moderat yang berbahaya adalah dengan wajibnya penerapan syariah Islam kaafah di dalam Negara Khilafah. Sebagai kaum intelektual muslim khususnya kewajiban kita adalah mengkritisi ide Islam Moderat yang terbukti berbahaya dalam masyarakat luas, khususnya di intelektual kampus. Memahamkan kepada kaum intelektual tetang Islam kaafah sebagaimana mestinya. Juga terkait sistem Khilafah, sistem yang harus ditegakkan sesuai dengan perintah Allah adalam Q.S al-Maidah: 48-49:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (Ayat 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (ayat 49)
Dengan demikian memutuskan perkara dengan berlandaskan wahyu oleh penguasa adalah kewajiban yang ditentukan oleh hukum syara’ yakni khalifah. Khalifah hanya ada dalam sistem khilafah khalifah ada ketika masyarakat melaksanakan bai’at sehingga bai’at adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Khalifah juga diibaratkan sebagai junnah (perisai) serta wiqoyyah (pelindung) umat. Hal tersebut adalah ikhbar yang harus dilaksanakan dengan penegakkan institusi khilafah. Dan khilafah bukan sistem pemerintahan bentuk kerajaan, imperium, federasi atau republik tetapi daulah Khilafah memiliki struktur negara yang berbeda dengan struktur seluruh sistem yang dikenal di dunia saat ini karena struktur khilafah diambil dari struktur negara yang ditegakkan oleh Rasululloh saw. di Madinah.

Sumber: Kitab Struktur Daulah Khilafah, www.hizbut-tahrir.or.id.


Penulis: Rizka K. Rahmawati (Mahasiswi Sejarah dan Kebudayaan Islam)
(Tulisan ini sebagai pemantik dalam diskusi rutin Forum Komunikasi Aktivis Muslimah yang diadakan oleh LKM MHTI Yogkyakarta, pada Ahad, 4 Oktober 2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar