Masa PKI dalam sejarah Indonesia
eksistensinya ada pada saat pemerintahan. Soekarno dan Hatta, tepatnya 50
tahun setelah diploklamirkan Indonesia merdeka oleh Soekarno-Hatta, sekitar
1965-1966. Gerakan Wanita Indonesia “GERWANI” adalah salah satu gerakan Wanita
Indonesia yang merupakan bagian dari PartaiKomunis Indonesia (PKI). Pada saat itu disebutlah masa
yang paling ekstrim yang dilakukan oleh Soeharto untuk menikam gerakan tersebut. Bukan sekedar nyawa
yang direnggut dalam kekerasan ini melainkan juga fitnah menyebar dalam bentuk tuduhan –
tuduhan rekayasa seksual yang dituduhkan pada gerakan ini. Seorang Saskia E.
Wiereng melihat gerakan ini dari kacamata gerakan wanita tersebut. Rezim Orde Baru Soeharto tidak hanya dibangun
di atas timbunan mayat berjumlah kira-kirasatujuta[1] rakyat tak berdosa
yang dibantai selama bulan-bulan terakhir 1965 dan permulaan 1966. Penulis buku ini mencoba membuktikan
bahwa kekuatan yang telah digambarkan oleh musuh-musuh Gerwani melalui berbagai
metafora seksual. Sampai saat akhir rezim Orba berkuasa, ganung kampanye
rekayasa yang menggembor-gemborkan bahwa kekuatan perempuan khususnya serta
komunisme pada umumnya idcap memiliki perilaku seksual yang rendah dan jahat.
Organisasi feminis seperti Kalyanimatra dan Solidaritas Perempuan yang muncul
pada 1980-an terus menerus dituduh sebagai membangun “Gerwani baru”.[2]
FEMINISME
Oposisi feminisme terhadap cara produksi dan
politik serta peninjauan kembali terhadap cara berfikir dan berperilaku itu
sudah merupakan suatu kritik terhadap budaya dan kehidupan sehari-hari.
Secara analisis, konsep feminisme bukan
sekedar berhubungan dengan proses perubahan, tetapi juga pada konsep
“perempuan” itu sendiri yang selalu dinamis dan berubah terhadap identitas dan
kesadaran. Seperti yang ditulis oleh Laurentis, feminisme memungkinkan kita
untuk memikirkan kembali secara materil dan ideologis serta bagaimana politik
melakukan kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Feminisme mensdefinisikan dirinya sebagai
persoalan politik, bukan sekedar politik seks, tetapi politik pengalaman,
kehidupan sehari-hari, dan pada gilirannya memasuki ruang publik dengan
ekspresi dan kerja kreatif... dan ini berada dalam prioritas epistimologi
perorangan, subjektif, badan wadak, simtomatik, yang terjadi setiap hari,
sebagai suatu wilayah penandaan materil dan ideologi.” (Laurentis 1986:10-11).[3]
Dengan demikian feminisme juga menjadi proses
mendekonstruksi topik, proses membentuk arti, menjungkirkan representasi gender
dan menciptakan representasi gender baru, keperempuanan, identitas, da kolektif
diri. Hal itu membawa anega segi arti yang baru, yang tidak terbatas pada
konteks gerakan mutakhir maupun negeri-negeri belahan Utara.
Kata feminisme digunakan secara luas oleh
gerakan perempuan di negeri-negeri belahan Selatan pada permualaan abad 20.
“Ditahap awal feminisme di Dunia Ketiga
menjadi salah satu kekuatan penting bagi perubahan spsial pada penghujung abad
ke 19 dan permulaan abad ke 20” (Jayawardena 1982:13)[4].
Biasanya gerakan perempuan di negara-negara
yang berada dalam proses perubahan sosialis mendapatkan dukungan penuh dari
seluruh aparat negara. Sebagai contoh, Federasi Perempuan Tiongkong, mereka
mengusung suatu wacana. Karena didukung oleh rezim negara maka gerakan mereka
mempperoleh keberhasilan (Croll 1978). Gerakan semacam itu termasuk (Gerwani)
biasanya diorganisasikan secara demokratis sentralistik. Hanya saja, perempuan
kalangan bawah tidak ikut terlibat dalam
Gender
: Konsep Teruji?
Pengemban konsep gendersebagai alat analisis
merupakanpencapaian terbesar studi gerakan perempuan. Konsep perempuan dan
laki-laki tidaklah ditinjau dari segi
biologis tetapi bangunan budaya (gender) yang pada dasarnya tidak stabil ,
dengan demikian berdampak pada masalah besar teori. Dalam banyak bahasa,
perbedaan itu sangat jelas. Tetapi dalam bahasa Indonesia misalnya, salinan untuk
keduanya, sex maupun gender, biasanya jenis kelamin. Secara utuh, arti gender
secara sosial dan alamiah tercermin dalam analisis yang mendua dalam penulisan
sejarah gerakan perempuan Indonesia yang sering diwarnai dengan determinisme
biologis. Gerakan perempuan di Indonesia sampai pertengahan 1980-an hampir
tidak memberikan sorotan kritis terhadap gagasan kodrat alam perempuan (De
Bouvir 1947), bahwa perempuan itu yang melahirkan anak, maka harus bertanggung
jawab terhadap urusan rumah tangga, merawat, dan mengawasi anak. Dengan begitu,
mereka itu digolongkan sebagai jenis yang lenih lemah. Tetapi gerakan lain
memberikan arti beda terhadap “kodrat alam”, dengan demikian istilah itu
mengalami perubahan.
Beberapa
tokoh mndefinisikan tentang gender dan konsep yang mereka kenalkan kepada
khalayak umum. Misalnya Rubin pada tahun 1975 ialah yang memperkenalkan pertama
kali konsep gender. Selanjutnya teoriyikus feminisme membuat pengembangannya
yaitu Flax tahun 1990; Nicolas 1994. Pendekatan yang dilakukan oleh Scoot
(1989) dinilai paling banyak berguna bagi pembahasan sejarah. Menurutnya gender
itu “suatu elemen pembentuk hubungan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan
yang didasari terkait perbedaan jenis seks serta secara umum menandai hubungan
kekuasaan (1989:94). Bagian pertama konsep tersebut sangat cocok bagi
penelitian gerakan perempuan, sedang bagian kedua berguna untuk menggambarkan
luasnya perubahan sosial, semisal peristiwa di Indonesia.
Gerwani menduduki posisi unik dalam sejarah
organisasi perempuan. Mula-mula mereka itu terdiri dari sekelompok perempuan
feminis, nasionalis, kominis. Kemudian menjadi organisasi masa perempuan
terbesar di luar negara blok komunis. Dalam bagian besar sejarahnya, Gerwani
dapat dipandang sebagai organisasi perempuan semi-otonom dengan tiga alur
kesetiann, kepada kaum perempuan, kepada tujuan sosialis, dan nasionalisme.
Perimbangan terhadap kesetiaan tersebut bergeser dalam perjalanan waktu, sedang
tingkat kemandiriannya sedikit demi sedikit digerogoti sampai akhirnya dikurangi
dengan serius pada 1965. Sebagai perbandingan, dua organisasi serupa yang punya
hubungan erat dengan Gerwani, dapat membantu menjelaskan posisi unik tersebut,
kedua organisasi perempuan tersebut itu ialah sayap perempuan dari Partai
Kominis Belanda (CPN) yang kecil itu dan Federasi Wanita Tiongkok.
Gerakan Perempaun Belanda atau Nederlandse
Vrouwen Beweging (NVB) dalam sejarahnya berproses kearah satu lingkupan,
sebagai yang dinyatakan Withuis (1990), ketika masalah kelas mnggusur masalah
feminisme. Organisasi tersebut didirikan pada 1946 sebagai sayap perempuan dari
partai komunis yang kecil, yang kemudian disisihkan dan diserang lantaran
meningkatnya tekanan perang dingin. Cara berfiir mereka menyempit, sedang
pandangan politk praktis mereka kian menjadi isolasionis. Ditingkat nasional
mereka tidak banyak dipengaruhi oleh perang dingin. Malahan situasi
internasional memungkinkan Soekarno mendpatkan dukungan kuat dari PKI dan
menjadi pelakupolitik internasional. Dimensi internasional sangat penting bagi
Gerwani dengan melalui kegiatannya yang tinggi dalam Women Internasional
Democratic Federation (WIDF) yang dikendalikan kaum komunis.
Dipihak lain Gerwani tidak mendapatkan dukungan
kuat negara seperti rekannya Federasi Wanita Tiongkok. Meski Gerwani memiliki
daya tarik masa yang besar, namun agaknya PKI tidak akan pernah, atau tidak
akan diperolehkan menjadi partai terbesar di Indonesia.
Gerwani mendapatkan inspirasinya dari
pemikiran sosialis dan bertalian erat dengan PKI. Dalam hubungannya antara
feminisme dengan Marxisme, mereka bergulat dengan sejumlah persoalan teori. Dua
hal penting yang menarik dari Marxisme bagi kaum feminis ialah kemungkinan
perubahan sosial yang meningkat serta teori sejarah keluarga menjurus pada
celaan terhadap pandangan esensialis. Marxisme menentang determenisme biologis
dan mengakui materaialisme historis serta teori ilmiah tentang perubahan sosial
sepenuhnya didasarkan pada rumusan Engels perihal pembagian kerja alamiah di
antar jenis kelamin.
Sejak akhir abad ke 19 dan seterusnya,
masyarakat Indonesia mulai berubah secara dramastis. Muncul suatu laosan baru
kaum terpelajar yang dididik untuk menajdi pegawai pribumi menyampaikan
gagasan-gagasan modern. Pada saat yang sama pemerintah kolonial membuka peluang
hasrat kaum intelektual Indonesia dengan suatu sistem ekonomi umum, juga
menawarkan jenjang pangkat ditataran birokrasi bagi mereka yang bekerja keras.
Dari luar bukan saja nasionalisme yang diperkenalkan melainkan feminisme,
sosialisme, Marxis, dan Islam Modern- tiga gerakan yang utama reformasi yang
lain masuk ke Indonesia dari negeri jauh, dua yang pertama dari Barat sedang
yang lain dati Timur Tengah. Dibawah kepemimpinan Soekarno-Hatta dan Syahrir,
perasaan nasionalisme tersebar dan gerakan nasionalis berkembang pesat menjadi
kekuatan politik penekan kekuasaan Hindia Belanda yang memuncak pada tahun
1920-an dan 1930-an.
Gerakan pertama kali muncul dan timbul
menyuarakan diri dalam perlawanan terhadap diskriminasi. Pemerintahan republik
Indonesia hijrah ke Yogyakarta, sejumlah partai politik baru muncul. Syahrir
membentuk Partai Sosialis Indonesia, Amir Syarifuddin mendirikan gerakan Pemuda Sosialis Indonesia
(Pesindo). Kaum perempuan aktif di kedua partai tersebut yang kemudian menjadi
benih kelompok kiri. Banyak pemimpin
Perwari dan Gerwani kelak berasal dari kelompok itu.[5]
Para nasionalis awal seperti Kartini dan Tirto
Adhi Soerjo melakukan kerja sama dengan kaum kolonial progresif. Seiring
berjalannya waktu, suatu elemen bersatu menjadi bersikap resisten terhadap
dominasi kolonial Belanda di mana eksploitasi ekonomi jadi panglima. Meski
kesmena-menaan penjajah mendapat perlawanan, namun ada sekelompok pribumi yang
mendukung kekuasaan penjajah.
Disamping Kartini, terdapat sejumlah pendukung
reformasi pada masa peralihan abad. Salah seorang tokoh penting ialah Tirto
Adhi Soerjo yang diabadikan dalam tulisan Pramoedya Ananta Toer. Ia seorang
wartawan pribumi pertama yang membuat seksi perempuan pertama. Tulisan pertama yang mengakomodasikan aspirasi
perempuan itu secar berkala dimuat didalam koran yang diterbtkannya pada 1903
bernama Soenda Berita. Pada tahun
1908, ia juga menrbitkan koran bahasa Melayu pertama untuk perempuan, Poetri
Hindia, berbagai tokoh perempuan feminis seperti Soendari dipublikasikan.
Baginya pendidikan perempuan adalah masalah sangat penting bagi Indonesia
kedepan, ia aktif mendukung Dewi Sartika dalam mendirikan sekolah pertama bagi
para gadis. Pada tahun itu juga organisasi nasionalis pertama BU (Budi Utomo)
didirikan oleh sejumlah kaum bangswan Jawa berpendiidkan Barat (Pluvier 1953;
Wertheim 1959). Pada permulan aba ke 19 utamanya selama tahun-tahun gejolak
sebelum Perang Jawa (1825-1830), terdapat cukup bukti sumbangan penting (kaum
perempuan) dibidang komersial, militer, politik, dan kehidupan sosial diwilayah
Jawa Tengah (Carey Huben 1987:12).[6]
Pengaruh kolonial Belanda sangat mengurangi
sumbangan perempuan dalam piranti politik Jawa. Secara umum politik Belanda
tidak setuju dengan penguas perempuan (Baried, tanpa tahun). Kaum perempuan
bangswan Jawa agaknya menjadi pihak yang paling dibatasi di Indonesia.
Kebebasan bergerak perempuan tani jawa umumnya dipandang cukup luas (Geertz
1961; Vreede de Stuers 1960). Kaum perempuan priyayi tidak mendapatkan hak
kesempatan pendidikan yang kian luas seperti dinikmati laki-laki dari kelas
yang sama, hampir tak punya kases terhadap kehidupan umum dan dirugikan terkait
hubungan perkawinan yang tak setara.
Sekolah-sekolah Kartini yang didirikan sesudah
1912 mempunyai pengaruh besar terhadap generasi nasionalis perempuan.
Organisasi resmi perempuan pertama , Putri Mahardika didirikan di Jakarta pada
1912. Mereka mendukung adanya pendidikan bagi perempuan, mendoring perempuan
tampil didepan publik dengan membuang perasaan lemah hati serta mengangkat
perempuan pada posisi laki-laki (Petrus Blumberger 1987:160).
Berbagai organisasi perempuan didirikan
anatara 1913 dan 1915, utamanya di Jawa dan di Minangkabau. Sebagaimana
dikawasan jajahan lain di Asia, sejumlah laki-laki reformis Barat dan nasional,
juga kaum perempuan feminis Barat memainkan peran penting dalam membantu
gerakan kaum perempuan stempat. Diantaranya ada Tuan dan Nyinya Abendanon serta
Stella Zeehandelaar telah memberikan rangsangan kepada Kartini. Di Minangkabau
Datoek Soetan Maharadja anggota penting gerakan reformasi Islam Kaum Muda, juga
mempunyai peran yang sama terhadap
Rohana Kudus. Saudara tiru Syahrir ini seorang feminis pertama tersohor di
Minangkabau yang pada 1912 menjadi editor Soenting Melajoe (Mrazek 1994;
Wierenga 1995d). Pada anggota perempuan pertama ini sebagian besar berasal dari
kelas atas, sama halnya dengan kebanyakan pemimpin laik-laki.
Pada tahun 1918 anggota perempuan SI
mendirikan organisasi Siti Fatimah di Garut. Pada tahun 1920 kelompok lainnya
berdiri Wanodya Oetomo Yogyakarta.tahun 1925 organisai-organisai ini melebur
menjadi Serikat Putri Islam (Kowani 1978:17; Panitia 1978:8) atau serikat
Perempuan Islam Indonesia.
Asal usul Aisyiah, organisasi perempuan Islam
penting lainnya yang didirikan masa itu, didokumentasikan jauh lebih lengkap.
Ketika KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, ia menyadari akan perlunya
sederet bantuan perempuan yang menghadiri kursus itu dihimpun di bawah nama
Sopo Tresno (Suratmin 1982:3). Pada tahun 1917 organisai ini diubah menjadi
Aisyiah (Nama istri nabi yang sangat berpengaruh), Nyai Ahmad Dahlan, istri
pendiri Muhammadiyah, sebagai ketuanya. Nyi Dahlan, istri pendiri Muhammadaiyah
menggambarkan ajaran Islam ketika itu sebagai sangat tebelakang dan banyak
membawa pengaruh masa sebelum Islam.
[1]inimenurutVitikiotistahun
1993 danAderson 1994, lihatCribb
[2]Ini
merupakan sebuah hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Yeni Rosa
Damayanti pada tahun 1996, seorang aktivis mahasiswa, menceritakan bahwa
beberapa tahun sebelum itu, ia pernah ikut demonstrasi di depan gedung DPR di
Jakarta terhadap pelanggaran HAM. Ia dipukuli aparat bahkan lebih kejam
daripada terhadap teman- teman laki-lakinya. “Mereka memukuli saya dengan kejamnya,
dengan terus menerus meneriakkan ‘Sundal Gerwani’. Saya dihukum penjara satu
tahun, dan setiap kali saya bertanya-tanya apa sebabnya mereka meneriaki saya
dengan kata tersebut. Saya lahir setelah Gerwani dihancurkan, saya hidup dalam
lingkungan yang sangat fanatik puritan karena kami selalu takut gambaran
aktivis perempuan dengan kehidupan bebasna.
[3]Saskia E.
Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan
(Yogyakarta: Glang Press, 2010), hlm.62.
[4]Saskia E.
Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan
(Yogyakarta: Glang Press, 2010), hlm.63.
[5]Wawancara
dengan Sujinah Harlinah 16 Februari 1984 dan Trimurti 10 September 1994
[6]Tentara
perempuan di wilayah Surakarta dalam abad ke 19. Reid menyebutkan tentang
pengawal pribadi para penguasa kuat seperti Sultan Agung dari Mataram yang
memiliki 10.000 pasukan perempuan(1988:167)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar