Medali emas bersegi tujuh dari Turki (Khilafah Utsmaniyah ) ini merupakan pemberian keapda Sulthan Jambi. Medali bersegi tujuh ini berbentuk seperti matahari terbit dengan dihiasi tujuh buah bintang dan bulan sabit kecil di sekelilingnya.
Di tengah medali, terdapat bundaran warna merah, bertuliskan huruf Arab. Salah satunya adalah angka yang menunjukkan tahun, yaitu 1298 H. Diduga, itu merupakan tahun disaat medali itu diserahkan Khalifah sebagai cinderamata ungkapan tanda pertukaran,cinta dan pujian kepada Utusan Sulthan Thaha Syaifuddin selaku Raja Jambi Kerajaan Jambi pada masa itu yang datang meminta bantuan kepada Khalifah untuk melawan Penjajah Belanda dari Jambi.
Terdapat juga bintang dan bulan sabit (seperti di atas kubah masjid) berukuran lebih besar yang merupakan penyatu antara medali dengan rantai. Di rantai itu terdapat enam buah keping bundaran. Pada kepingan itu juga terlihat tulisan Arab.
Medali itu diberikan Khalifah di Turki kepada utusan Sultan Thaha yang meminta bantuan ke Turki (pusat Kekhilafahan Islam kala itu). “Waktu itu penjajah Belanda kian agresif menyerang Jambi. Maka Sultan Thaha pun meminta bantuan ke Turki. Permintaan bantuan ke Turki ini tentu saja memiliki alasan. Secara histori raja-raja Jambi yaitu Datuk Paduka Berhala memiliki pertalian darah dengan keturunan Turki.
Selain itu, karena di masa itu Turki dianggap sebagai pusat Islam yang sudah maju. Di antara utusan tersebut sepulangnya dari Turki, tidak seluruhnya sampai ke Jambi. Di antara mereka ada yang tidak sampai, karena khawatir tertangkap Belanda. Lalu mereka menetap di Batu Patah, Johor Bahru, Malaysia (hingga kini, Keturunan Sulthan Jambi ada di Malaysia).
Pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman pernah mengirim surat kepada khalifah Umar bin abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayah meminta dikirimkan da’i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya.
Surat itu berbunyi:
“Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukum-Nya.”
Fakta-fakta sejarah lain yang menggambarkan hubungan antara Nusantara dengan Khilafah Islamiyah :
- Pasukan khilafah Turki Utsmani tiba di Aceh (1566-1577) termasuk para ahli senjata api, penembak dan para teknisi. untuk mengamankan wilayah Syamatiirah(Sumatera) dari Portugis. Dengan bantuan ini Aceh menyerang Portugis di Malaka.
- Kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajarkan cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani. Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi.
- Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.
- Deureuham adalah mata uang Aceh pertama yang diambil dari bahasa Arab dirham. Beratnya 0,57gram kadar 18 karat diameter 1 cm, berhuruf Arab di kedua sisinya.
- Keterkaitan Nusantara atau wilayah Sumatera sebagai bagian dari Khilafah kian nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra Pasai Darussalam oleh utusan Syarif Mekkah. Syarif Mekkah saat itu berwenang sebagai wali (setingkat gubernur) di dalam sistem kekhilafahan Islam.
- Gelar Sultan Kesulatanan Islam di nusantara dinyatakan sah apalbila telah ditetapkan oleh Syarif Makkah. Syarif Makkah adalah pejabat Khilafah Utmaniah setingkat wali/ Gubernur yang diberi kewenangan mengangkat para Sultan.Pada era kolonialisme gelar Sultan amat sangat ditakuti Belanda.
Karenaya tidak mengherankan jika Pangeran Diponegoro menyematkan gelarnya: “Senopati Ing Alogo Sultan Abdul Hamid Erucokro Amirul Mukminin Tanah Jowo Sayidi Panotogomo”. Sultan Abdul Hamid adah nama Khalifah Utmaniyah dan Erucokro adalah Sultan Mataram saat itu.
Kedamaian dan kesejahteraan yang pernah terwujud di lintasan sejarah penerapan syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah ini pun telah diungkapkan secara jujur oleh Will Durant seorang sejarawan Barat :
"Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, dimana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad".
Wallahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar