Oleh: KH. Muh. Shiddiq al-Jawi
Abstrak
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan
kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, pragmatisme mencampuradukkan
kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide
adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain.
Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas,
atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah
diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu
ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan
penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan.
Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide,
tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.Kedua,
Pragmatisme menafi¬kan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah
ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar
tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya
adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif
dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak
dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti
telah menafikan ak¬tivitas intelektual dan menggantinya dengan
identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah
menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari
identifikasi instinktif.Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan
kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik
individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan
tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat
dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian
kepada selur¬uh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil
dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah
menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan
dirinya sendiri.
1. Pengantar
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya
suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah
atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk
bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupa¬kan budaya dan tradisi
berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai
sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi
pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles
S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James
(1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan
perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari
pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang
dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengata¬kan bahwa
Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara
berpi¬kir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai
kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis
Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes
(1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu,
telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik
filsafat Eksistensialis¬me maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi
tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke
seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam
konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berba¬haya karena telah
mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar
kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia– sebagaimana akan
diterangkan nanti.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak
dapat menge¬lak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni
menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya,
sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran
bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan
pera¬daban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah
mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat
manusia.
2. Hakikat Pragmatisme
Deskripsi mengenai Pragmatisme akan diawali dengan penjelasan ringkas
tentang sejar¬ah mata rantai pemikiran Barat, agar diperoleh gambaran
komprehensif tentang posisi Pragma¬tisme dalam konstelasi pemikiran
Barat.
a. Asal Usul Pragmatisme
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran
gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan
Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun
1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebu¬dayaan klasik Yunani dan
Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan
perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan,
manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah
aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat
Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inder¬awi, telah mulai
menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang
meno¬njol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat
Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya
Renaissance.
Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan
akal dari kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik
sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu
sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada
filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan
kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti
antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus
Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung
oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Juga
Fran¬cis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang
berbeda dengan teknik deduk¬tif Aristoteles (dengan logika silogismenya)
yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi, Barat tidak mengambil
filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang
menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode
Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang
dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 –
1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua
filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik
sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance
itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada
karakternya yang terlepas dari agama.
Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan
terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di
Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja
–seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–,
penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap negara-negara
Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan apa
yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara tak sadar
telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama
(Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan
Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik
terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak
langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan
tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni
menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh
Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap
Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik
dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang
matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahan¬kan doktrin
Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran
pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya
seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan
Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas
Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa
sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang
Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau
pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang
dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh
dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad
sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian inter¬pretasi baru
terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung,
pembaha¬sannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia,
seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum,
pendidikan dan sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley
(1685-1753) mengembangkan “immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih
ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa
kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material
dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material
itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati. Pandangan Locke
dan Berkeley dikem¬bangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776),
dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan)
ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan
keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan
hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.
Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga
dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut
Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis
Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume,
dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas
kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang
mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga
mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan
mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek
luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan
yang diperoleh dari pengalaman tersebut.
Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di
Jerman oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel
(1770-1831). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant
seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan
pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan
Idea¬lisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena
banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya,
baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu
pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John
Dewey (1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi
budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran
kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels
dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di
Rusia.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi
beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan
Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap
sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan
Empirisme yang ekstrim, adalah pandan¬gan yang menganggap bahwa yang
dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang
nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik
dan sosial menurut Posi¬tivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan
fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terha¬dap kehidupan
masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat
dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas
dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan
berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu
sendiri.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat
segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach
(1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895).
Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk
aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil Materialisme dari
Feuer¬bach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika
Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi
tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi.
Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi
terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang
disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi
Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada
Empirisme, kendati¬pun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada
John Dewey, seorang tokoh Pragmatis¬me yang dianggap pemikir paling
berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya
adalah Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang Pragma¬tisme
akan diuraikan lebih rinci pada keterangan selanjutnya pada poin b
berikut.
b. Arti Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti
perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya
dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham.
Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekan¬kan bahwa
pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah”
atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme
benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu
benar kalau berfungsi (if it works).
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan
mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak
menonjol dalam pandangan Wil¬liam James, terutama dalam bukunya The
Meaning of The Truth (1909).
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang
sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi,
tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan
sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang
dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan
perkem¬bangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi
oleh pengalaman berikutnya.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir
yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu
harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu
postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan
ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan
perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan
fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran
itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari
pernyataan fakta.
James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan
cara berpi¬kir induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang
yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang
menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mende¬duksi yang umum
ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme,
berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum
yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi
terhadap fakta-fakta partikular.
Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan
empirisme tradi¬sional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar
fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan
pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini –yang juga disebut
Practicalisme– , sebe¬narnya merupakan perkembangan dan olahan lebih
jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan
penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti
kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan
konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol
(bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.
Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernya¬taan), Peirce membagi
kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu
kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah
Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini
dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psi¬kologis, yaitu keselarasan
pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis
atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang
didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan
konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James.
Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah
individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan
kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal
abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda
dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey
menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan
mengembang¬kan suatu teori problem solving, yang mempunyai
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Merasakan adanya masalah.
2. Menganalisis masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
3. Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
4. Memilih dan menganalisis hipotesis.
5. Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama
Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus
dibuktikan dengan pengalaman.
Demikianlah Pragmatisme berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang benar
itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam
praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
3. Kritik Terhadap Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
a. Kritik dari Segi Landasan Ideologi
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama
dari kehi¬dupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis
kemunculan Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari
Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti
menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi
Kapitalisme. Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir.
Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Aqidah
pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian yang
berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap moderat, antara dua
pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah
pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad
Pertengahan (abad V – XV M), yakni keharusan menun¬dukkan segala
sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang
kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari
keberadaan Al Khaliq.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di
antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya
mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih
mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin
terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini
hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al
Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari
sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan
tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan,
dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai
keterika¬tannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari
sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi
dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah
lebih penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang
tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa.
Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di
antara pemi¬kiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan
dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan
membatalkan aqidah ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh
orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari
keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal)
yang qath’i (yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada
dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil
tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu
peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan
menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap
peraturan Al Khaliq tadi.
Kendatipun demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan
tentang eksistensi Al Khaliq atau pembahasan mengenai peraturan yang
ditetapkan Al Khaliq untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan
di sini ialah aqidah Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai
kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan
menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah
antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak
dibangun atas dasar pembahasan akal.
Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup
untuk merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh
pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang batil –termasuk
dalam hal ini Pragmatisme– pada hakekatnya adalah batil juga.
b. Kritik dari Segi Metode Berpikir
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan
Metode Ilmiah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas
berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains
dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial. Ini adalah suatu kekeliruan.
Metode Ilmiah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan
pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai
hakekat materi yang dikaji, melalui serang¬kaian percobaan/eksperimen
yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang
bersifat materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi
menjadikan Metode Ilmiah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu
pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi
landasan pemikiran adalah Metode Akliyah/Rasional (Ath Thariq Al
Aqliyah), bukan Metode Ilmiah. Sebab, Metode Ilmiah itu sesungguhnya
hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses
pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses
transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian
diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim
dalam otak.
Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode
Ilmiah, atau dengan kata lain Metode Ilmiah sesungguhnya tercabang dari
Metode Akliyah. Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An
Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point :
a. Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak dapat
tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi
sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah.
Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiah.
b. Bahwa Metode Ilmiah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat
fisik/materi¬al yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk
mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah,
bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat
mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu,
Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya
lebih luas daripada Metode Ilmiah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiah adalah cabang dari Metode
Akliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah
Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah, sebagaimana yang terdapat dalam
Pragmatisme.
c. Kritik Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan
kegunaan prak¬tis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan
kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisn¬ya. Kebenaran suatu ide
adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain.
Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas,
atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah
diketahui kesesuaiannya dengan realitas.
Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak
diukur dari keberhasi¬lan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari
kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan prak¬tis ide tidak
mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta
terpuas¬kannya kebutuhan manusia. Kedua, Pragmatisme menafikan peran
akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas
intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang
penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah
identifika¬si instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi
ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi
ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan
aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif.
Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal
kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif. Ketiga.
Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai
dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan
masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain,
kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme
itu sendiri– setelah melalui pengu¬jian kepada seluruh manusia dalam
seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi.
Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang
dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
4. Kontradiksi Pragmatisme Dengan Islam
Jelas sekali bahwa Pragmatisme –sebagai standar ide dan perbuatan–
sangat bertentan¬gan dengan Islam. Sebab Islam memandang bahwa standar
perbuatan adalah halal haram, yaitu perintah-perintah dan
larangan-larangan Allah. Bukan kemanfaatan atau kegunaan riil untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran,
teori, atau hipotesis.
Allah SWT berfirman :
“Berilah keputusan di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah” (Al Maaidah : 48)
Syaikh An Nabhani menjelaskan ayat ini dalam Muqaddimah Dustur, bahwa
ukuran perbuatan adalah apa yang diturunkan oleh Allah, bukan
konsekuensi-konsekuesi yang dihasil¬kan dari aktivitas-aktivitas
manusia.
Selain itu, Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan-Nya, yaitu Syari’at Islam. Allah SWT berfirman :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu
mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) selainnya…” (Al A’raaf :3)
Mafhum Mukhalafah (pengertian kebalikan) dari ayat di atas adalah,
janganlah kita mengikuti apa yang tidak diturunkan Allah, termasuk
manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul sebagai konsekuensi
dari aktivitas kita, sebab semuanya bukan termasuk apa yang diturunkan
Allah.
Allah SWT juga telah berfirman :
“Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia…” (Al Hasyr : 7)
Mafhum Mukhalafah ayat ini adalah, janganlah kita mengambil apa saja
(pandangan hidup) yang tidak berasal dari Rasul, termasuk ide
Pragmatisme. Ide ini tidak berasal dari Muhammad Rasulullah saw, tetapi
dari orang-orang kafir yang berasal dari Eropa dan Ameri¬ka.
Jelas, bahwa Pragmatisme bertentangan dengan Islam. Sebab ukuran
perbuatan dalam Islam adalah perintah dan larangan Allah, bukan manfaat
riil suatu ide untuk memenuhi kebu¬tuhan manusia.
Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemanfaatan.
Islam terbukti telah memperhatikan aspek kemanfaatan, seperti misalnya
sabda Rasulullah saw :
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali
tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang
mendoakan kedua orang tuanya.” (HSR. Muslim)
Benar, Islam memang memperhatikan kemanfaatan, tetapi kemanfaatan yang
telah dibenarkan oleh syara’, bukan kemanfaatan secara mutlak tanpa
distandarisasi lebih dulu oleh syara’. Hal ini karena nash-nash yang
berhubungan dengan manfaat tidak dapat dipahami secara terpisah dari
nash-nash lain yang menegaskan aspek halal haram. Maka, kemanfaatan yang
diperhatikan oleh Islam adalah kemanfaatan yang dibenarkan oleh syara’,
bukan sembar¬ang manfaat.
Jadi, ketika dinyatakan bahwa standar perbuatan adalah syara’, dan bukan
manfaat, maka hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan aspek
kemanfaatan. Tetapi maknanya adalah, manfaat itu bukan standar kebenaran
untuk ide atau perbuatan manusia. Sedang kemanfaatan yang dibenarkan
Islam, yakni yang telah diukur dan ditakar dengan standar halal haram,
maka itu adalah manfaat yang yang dapat diambil oleh manusia sesuai
kehendaknya.
5.Penutup : Dekonstruksi Pragmatisme, Suatu Kewajiban
Pragmatisme adalah ide batil dan ide kufur yang sangat mungkar, karena
ide tersebut dibangun di atas landasan ideologi yang kufur, dihasilkan
dengan metode berpikir yang tidak tepat, serta mengandung kerancuan dan
kekacauan pada dirinya sendiri.
Oleh karena itu, karena Pragmatisme adalah suatu kemungkaran, maka
seorang muslim wajib menghancurkan dan membuang Pragmatisme dengan
sekuat tenaga serta melawan siapa saja yang hendak menyesatkan umat
dengan menjajakan ide hina dan berbahaya ini di tengah-tengah umat Islam
yang sedang berjalan menuju kepada kebangkitannya. [ ]
- – – – – – – – -
*Makalah disampaikan dalam Halaqah Syahriyah (Kajian Bulanan) Hizbut Tahrir, di Bogor, bulan Agustus 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar