Siapa yang Paling Cinta Tanah Air?



Ada saja kesempatan menarik bagi moderator membuat suasana forum menjadi "ramai". Pembawaan ruang dialog menjadi renyah hingga membuat para peserta sontak tertawa. Terkadang, juga membuat peserta berubah jadi serius dan muncul banyak tanda tanya.

Seperti yang baru-baru terjadi dalam sebuah acara "Dialog Kebangsaan" yang diselenggarakan oleh Jurusan Filsafat Agama UIN Sunan Kalijaga. Acara pembukaan yang berlangsung cukup singkat memunculkan sebuah pertanyaan. Seorang moderator yakni Pak Arif Dosen Jurusan Filsafat Agama melontarkan pertanyaan yang membuat para mahasiswa seketika terdiam. Barangkali karena pertanyaan itu mengusik. Apalagi kalau membahas masalah "Cinta Tanah Air".

Kejadiaannya tepat setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ketika semua peserta beranjak duduk dikursi masing-masing. Semua yang hadir dalam acara tersebut tertangkap menerka-nerka. Ada satu pembicara yakni Ustadz Irfan S. Awwas, satu orang dosen Bahasa dan Sastra Arab, dan terlihat dua Mahasiswi yang enggan berdiri dan ikut menyanyi.

"Ada yang menarik yang perlu kita tanyakan pada salah satu pembicara kita pada siang hari ini. Ustadz Irfan S. Awwas dan beberapa orang peserta yang tidak mau berdiri dan menyanyikan lagu Indonsia Raya. Kira-kira kenapa beliau tidak ikut serta berdiri dan bernyanyi? Perlu ditanyakan nasionalismenya ini" ungkapnya.

Tidak lama berselang dan Ustadz Irfan duduk ditempat yang telah disediakan, konfirmasi pertanyaanpun seketika dijawab.

"Agar nanti setelah acara tidak heboh. Muncul diberita ustadz Irfan tidak menyanyikan Indonesia Raya dan dipertanyakan nasionalisnya saya harus menjawab terlebih dahulu" tegasnya.

"Saya rasa tidak ada kaitannya menyanyikan Indonesia Raya dengan Nasionalis saya. Belum tentu orang yang menyanyikan lagu itu terbukti tinggi nasionalisnya. Maka mari kita buktikan siapa yang paling cinta tanah air ini" jawabnya.

Dalam penjelasannya beliau sempat bertanya pada salah satu peserta dan ternyata diketahui ia seorang mantan Mahasiswa IAIN dulunya dan kini menjadi wartawan Tempo.

"Ini ada alumni IAIN, dulu apa pernah dalam sebuah acara di kampus ini menyanyikan lagu Indonesia Raya? Justru seharusnya dipertanyakan, sejak kapan UIN ini dalam pembukaan acara menyanyikan lagu Indonseia Raya?"

Alumni IAIN sekaligus wartawan seketika tersenyum dan menganggukan kepala. Semua peserta terdiam. Cinta tanah air bagi kebanyakan orang realisasinya masih berkutat pada menyanyikan lagu Indonesia Raya, upacara, ikut serta perayaan 17 Agustus, membawa bendera merah putih kemanapun ia pergi, dsb.

Ada suatu hal yang dipermasalahkan. Tentang siapa yang paling cinta tanah air. Bagi seorang muslim yang yakin betul bahwa Allah dan RasulNya serta Islam yang dibawa adalah al-haq pijakan utama dalam kehidupan, maka menjadikan Islam sebagai dasar kehidupan adalah sebuah kewajiban.

Cinta tanah air dan "nasionalisme" adalah dua hal yang berbeda. Kebanyakan orang masih salah paham antara keduanya. Padahal cinta tanah air secara harfiah adalah bentuk kecintaan warga negara untuk bangsanya agar terhindar dari penjajahan.

Sedangkan Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsa”.
Pengertian “bangsa” ini, pada praktiknya sangat luas dan kadang malah bersifat imajiner. Kesamaan “bangsa” kadang bisa berarti kesamaan ras, budaya, bahasa, sejarah, dan sebagainya. Dalam wacana ilmu politik mutakhir, pengertian “bangsa” lebih bersifat imajinatif (Benedict Anderson, 1999).
Penduduk pesisir timur Sumatera (yang ber”bangsa” Indonesia) sebenarnya bukan hanya dekat secara fisik dengan penduduk di Semenanjung Malaysia sebelah barat (yang ber”bangsa” Malaysia), yang hanya dipisahkan oleh Selat Malaka. Mereka pun satu suku, sehingga mereka bisa saling memahami ucapan dan adat masing-masing. Tetapi, mereka “mengimajinasi” sebagai bangsa yang berbeda, dan saling menganggap sebagai bangsa asing. Sebaliknya penduduk Sumatera, yang sama sekali tidak memiliki kesamaan bahasa ibu dan kesukuan dengan orang Ambon, ternyata telah “mengimajinasi” sebagai satu “bangsa” dengan orang Ambon. Di sinilah letak absurdnya nasionalisme. Yang “sama” bisa menjadi “bangsa” yang berbeda, sementara yang “tidak sama” bisa menjadi satu “bangsa”.

Secara syar’i, umat Islam diharamkan mengadopsi nasionalisme karena nasionalisme bertentangan dengan prinsip kesatuan umat yang diwajibkan oleh Islam. Kesatuan umat Islam wajib didasarkan pada ikatan aqidah, bukan ikatan kebangsaan, seperti nasionalisme.

Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.” (QS Al Hujurat : 13)

Ayat di atas menunjukan bahwa Umat Islam adalah bersaudara (ibarat satu tubuh), yang diikat oleh kesamaan aqidah Islamiyah (iman), bukan oleh kesamaan bangsa. Rasulullah SAW bahkan mengharamkan ikatan ‘ashabiyah (fanatisme golongan), yaitu setiap ikatan pemersatu yang bertentangan dengan Islam, termasuk nasionalisme :

“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). (HR. Abu Dawud)

Maka jelaslah, ikatan yang layak di antara umat Islam hanyalah ikatan keimanan. Bukan ikatan kebangsaan.

Dalam Piagam Madinah (Watsiqah Al-Madinah) disebutkan identitas Umat Islam sebagai umat yang satu :
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah kitab (perjanjian) dari Muhammad Nabi SAW antara orang-orang mu`min dan muslim dari golongan Quraisy dan Yatsrib…: ‘Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah), yang berbeda dengan orang-orang lain …” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Juz II hal. 119).

Meski, polemik siapa yang paling cinta tanah air hingga detik ini masih saja dipertanyakan. Ketika negeri ini dirundung banyaknya keharaman akibat sistem, maka wajar umat muslim dengan syariat Islam ingin berjuang mengubah kepada yang halal.

Ketika negeri ini terkoyak dengan batasan wilayah dan berbagai daerah berlepas diri, itu menjadi bukti bahwa nasionalisme telah runtuh, maka wajar umat muslim menawarkan ikatan yang shahih adalah ikatan aqidah.

Ketika negeri ini dirampas sumber daya alam akibat sistem, maka wajar umat muslim menyerukan kembali pada sistem Islam mempunyai pengaturan yang mensejahterakan.

Ketika negeri ini dibanjiri kebijakan yang dzolim, maka wajar umat muslim menyerukan kepemimpinan harus dipegang oleh umat Islam yang terbukti amanah serta dalam sistem Islam.

Ketika negeri ini dihujami pelecehan terhadap kemuliaan perempuan akibat sistem, maka wajar umat muslim ingin kembali diterapkan sistem Islam yang memuliakan seluruh perempuan.

Ketika negeri ini dijajah oleh mereka yang berdasi dengan undang-undang, maka wajar sebagai umat muslim harus melawan penjajahan dengan mengingatkan penguasa.

Ketika negeri ini diserang paham-paham kebebasan yang merugikan, maka wajar sebagai umat muslim harus menolak dan mengajak kembali kepada Islam.

Kesemuanya ditujukan karena kecintaan kepada negeri ini. Mengganti sistem yang ada dan menerapkan Syariat Islam. Begitulah, persis yang dilakukan Rasululloh Muhammad Shallahu 'alaihi wassalam datang dan mengubah kebiasaan jahiliyyah di Makkah, itulah bukti kecintaan terhadap negeri. Kecintaan yang didasarkan karena keimanan kepada Allah Yang Maha Sempurna. Begitu pula bukti kecintaan muslim terhadap negeri ini. Jadi, siapa yang paling cinta tanah air ini?

Wallohu 'alam bisshowab


Author : Rizka K. Rahmawati
Mahasiswi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar