Jejak Kata Oleh : Rizka K. Rahmawati
Biasanya, untuk datang disebuah forum seseorang itu membutuhkan
persiapan. Amunisi materi yang sesuai dg tema dan beberapa hal berita
dan informasi "terupdate" bisa jadi tambahan data saat nanti duduk
bersama. Nah, kemarin tak disangka seorang dosen mendadak memberi
tawaran pada saya untuk hadir diforum akademisi di UGM. Ini suatu hal
yang baru. Dan sepertinya, memang saya membutuhkan pengalaman ini.
Belajar diluar dengan mereka yang bukan satu almamater dengan saya.
Menambah daftar pustaka buku tentang dunia kesejarahan. Sepertinya
asyik, karena secara pribadi saya sangat terbatas dalam "bersilah
fikriyah" dengan Mahasiswa Jurusan Sejarah umum.
Tapal batas antara kami selalu ketara disisi teori. Sering dosen mengarahkan kami untuk belajar teori dari mereka yang ada "di bulaksumur". Artinya apa? Kami menempati posisi dibawah satu tangga dibidang teori dengan ilmu Sejarah di lain Universitas. Mereka tengah mendalami ilmu dengan berjibun "teori" yang tak banyak kami ketahui. Masih ingat betul, kata salah seorang dosen, kami! Ya anak sejarah Islam di UIN kemampuan bicaranya bisa dikatakan tak kalah dengan lainnya. Top abis deh kalau masalah "cerita". Namun, masalah teori? Ya, kalau teori kami merasa kebingungan. Kagok, dan beberapa kali sering minder jikalau berdampingan dengan mereka.
Semua mengakui, Ilmu sejarah memang tak mempunyai teori. Makanya ia butuh mereka yang diluar sana. Seperti Ilmu Sosial, Politik, Ekonomi, dll. Tepatnya, kami berjalan membutuhkan teman untuk menguatkan. Begitulah singkatnya, kami "menggandeng" ilmu diluar sejarah.
Kembali pada topik diatas, acara ini menarik. Sesaat beliau memberitahu judul bukunya, saat itu juga kuputuskan untuk menyanggupi duduk bareng bersama "mereka diluar sana". Entah, bagaimana nanti kiranya mereka melihat kami. Satu hal yang pasti, kami butuh atmosfer baru. Berkutat pada bidang sejarah yang berfokus pada Islam saja bukan berarti merasa cukup. Toh, kalau mau "flash back" melihat perjalanan Peradaban Islam selalu bersentuhan dengan Peradaban lain. Acap kali ini menjadi daya tarik tersendiri. Mempelajari dan tak menghilangkan kekhas- an Peradaban Islam itu sendiri. Mungkin begitulah kiranya, kami butuh untuk berdialog, dan yang terpenting tak mengikis idealitas dari Sejarah Islam itu sendiri.
"Perbudakan Seksual Perbandingan antara Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru".
Sebuah buku yang ditulis oleh mba Ana alumni Sejarah Universitas Gajah Mada ini Berangkat dari sebuah "Thesis" yang akhirnya bisa dijadikan sebuah buku dengan gaya penulisan yang renyah. Mudah dipahami, dan bahasanya ringan. Itu kesan dari beberapa orang yang berkomentar saat acara bedah buku pada beberapa waktu yang lalu.
Pembahasan ini penting. Apalagi, kalau dilihat baru-baru ini isu perempuan santer terdengar dan diperbincangan. Tak aneh memang, karena tanggal 8 Maret kemarin adalah hari "Perempuan Se-dunia". Ini terlepas dari peringaran hari tersebut, ada satu hal yang sangat penting untuk dibahas. Isu perempuan dan syariah yang sengaja dituding oleh kalangan feminis menjadi daya tarik bagi saya untuk hadir dalam bedah buku ini. Sekilas dari judul mungkin tak ada kaitannya dengan Islam. Karena jelas, temporal waktu yang ditulis disistem Fasisme Jepang dan Orde Baru. Namun, tentu kita tak akan lupa. Di masa itu perempuan muslim juga ada eksistensinya.
Feminis tengah gencar mengopinikan perempuan dan syariah melekat dengan korban pelecehan dan juga korban atas penerapan syariah. Sehingga, telah saya putuskan untuk menghadiri acara tersebut demi menambah fakta sejarah yang benar-benar terjadi.
Acara itu diadakan oleh PKKH yang bekerjasama dengan "etnohistori" yang berpusat di Jogja. Konon, acara seperti ini akan berjalan rutin tiap bulan kedepannya. "Saking" baru kali ini memasuki dunia luar dari "jurusan saya", beberapa hal saya dapati perbedaan mendasar yang tak saya jumpai di lingkungan dunia Sejarah Islam.
Sesampainya didepan pusat Kebudayaan saya pasang mental. Perlahan, saya dan dosen masuk ruangan. Saya ingat betul gedung ini juga pernah menjadi saksi sejarah dalam acara "Bedah Buku Jalan Baru Intelektual Muslimah" beberapa tahun yang lalu. "Di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi,,," itulah semua berawal.
Entah beliau melihat gerak gerik saya atau mungkin pengalamannya hingga akhirnya menebak dan tepat sama persis. Tiba-tiba beliau berucap,
"Jangan kaget ya! Biasa aja, ya beginilah ketika bersentuhan dengan dunia luar selain kampus kita. Santai aja, ya seperti biasanya kita dengan yang lainnya"
"Deg! Apa maksudnya?" Ternyata beliau melihat gelagat saya yang tidak biasa, barangkali memang benar. Sambil senyum kumencoba menjawab. "Hehe iya ya bu"
Apa yang kalian bayangkan? Bagaimana tidak "shock" ? Sesampainya ditikungan, kulihat dua orang duduk dan mulai beranjak berdiri dan berjalan. Mendekat dan mulai menyapa. Seseorang berpostur tinggi, memakai kacamata bulat, bercelana jeans, berkaos abu-abu dengan lengan yang sangat pendek, dan memakai slayer diikat dikepala. Sudah terbayang?
Saya awalnya ragu, hanya melempar senyum dan mencoba tetap bertahan. Bingung, antara mau berjabat tangan atau tidak. Tapi ia sangat ramah, berjalan cepat mendekati kami. Melempar senyuman dan mengulurkan tangan.
"akhirnya datang juga mb", sapanya pada dosen saya.
Bu dosenpun langsung respon "Iya mba,, alhamdulillah ini pas kebetulan luang".
Ya!, seseorang tadi adalah seorang perempuan. Seketika saya langsung bersalaman dan menunduk sambil memperkenalkan "saya Rizka mb".
"Oh ya,, mari-mari silahkan saja" hangatnya mempersilahkan kami. Itu yang pertama yang ditangkap mata.
Tak jauh dari itu sesaat beberapa langkah berjalan menuju deretan kursi dan meja registrasi kujumpai lagi. Tepat samping kanan jalan beberapa laki-laki tengah duduk dan saya rasa juga sempat mengarahkan matanya pada kami. Kami, yang berjalan pelan dan sama-sama memakai jilbab dan kerudung cukup menjadi "sorotan". Meski, dosen saya memakai Jaket panjang tetapi kelihatan dari gesturnya kami berpakaian muslimah. Saya, dengan kerudung pink yang lebar, dan jilbab tosca serasa begitu ketara kami ex dari kampus ternama di Jogja itu. Memang benar, hingga akhir hanya kami saya dan dosen saya yang mengenakan pakaian muslimah sebenarnya. Begitulah, alangkah ketara bagi mereka dengan kami yang secara terlihat mata cukup berbeda bahkan sangat berbeda dengan yg lainnya. Masih ingat betul, bapak-bapak berambut cukup panjang, berjenggot tebal dan hmm.. menghisap rokok dan berkaca mata. Lengkap, saya berhasil menangkap sekilas dan cukup jelas. Itu yang kedua.
Ketiga, jujur saya pribadi tidak biasa dengan lingkungan yg "plural". Secara keyakinan, berpenampilan, dan lainnya. Wabilkhusus dibidang pendidikan secara pribadi. Jadi kalaupun dalam satu ruangan banyak yang tidak berhijab dan berpakain "alakadarnya" dan mungkin cenderung menampilkan yg seharusnya ditutupi cukup membuat saya "kagok". Dan ini nggak biasa, namun usaha untuk tidak bersikap aneh tetap saya lakukan. Meski, justru harus banyak berkomunikasi. Barangkali saja menemukan titik dimana ada kecocokan dan menjadi washilah untuk mengajaknya taat dalam ranah "habluminannafsnya". Artinya, secara pendidikan formal saya belum pernah sekalipun dikelas atau dalam ruangan dengan siswa-mahasiswa yang bahkan non-Is. Meski, dikehidupan umum hal itu sudah biasa. Suasana, yang tak biasa inilah yang cukup menjadi titik perhatian saya.
Dan Ternyata benar dan wajar saja, memang forum itu umum. Yang menghadiri Tidak saja dari kalangan mahasiswa. Di tempat itu banyak budayawan, seniman, orang-orang yang berkutat dibidang sosial hampir semuanya ada di ruang itu.
Kami,? ya kami melengkapi dari kalangan akademisi dari institusi Islam. Kami muslim dan kami berasal dari kampus UIN.
#UGM
Kamis, 25 Februari 2015
Tapal batas antara kami selalu ketara disisi teori. Sering dosen mengarahkan kami untuk belajar teori dari mereka yang ada "di bulaksumur". Artinya apa? Kami menempati posisi dibawah satu tangga dibidang teori dengan ilmu Sejarah di lain Universitas. Mereka tengah mendalami ilmu dengan berjibun "teori" yang tak banyak kami ketahui. Masih ingat betul, kata salah seorang dosen, kami! Ya anak sejarah Islam di UIN kemampuan bicaranya bisa dikatakan tak kalah dengan lainnya. Top abis deh kalau masalah "cerita". Namun, masalah teori? Ya, kalau teori kami merasa kebingungan. Kagok, dan beberapa kali sering minder jikalau berdampingan dengan mereka.
Semua mengakui, Ilmu sejarah memang tak mempunyai teori. Makanya ia butuh mereka yang diluar sana. Seperti Ilmu Sosial, Politik, Ekonomi, dll. Tepatnya, kami berjalan membutuhkan teman untuk menguatkan. Begitulah singkatnya, kami "menggandeng" ilmu diluar sejarah.
Kembali pada topik diatas, acara ini menarik. Sesaat beliau memberitahu judul bukunya, saat itu juga kuputuskan untuk menyanggupi duduk bareng bersama "mereka diluar sana". Entah, bagaimana nanti kiranya mereka melihat kami. Satu hal yang pasti, kami butuh atmosfer baru. Berkutat pada bidang sejarah yang berfokus pada Islam saja bukan berarti merasa cukup. Toh, kalau mau "flash back" melihat perjalanan Peradaban Islam selalu bersentuhan dengan Peradaban lain. Acap kali ini menjadi daya tarik tersendiri. Mempelajari dan tak menghilangkan kekhas- an Peradaban Islam itu sendiri. Mungkin begitulah kiranya, kami butuh untuk berdialog, dan yang terpenting tak mengikis idealitas dari Sejarah Islam itu sendiri.
"Perbudakan Seksual Perbandingan antara Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru".
Sebuah buku yang ditulis oleh mba Ana alumni Sejarah Universitas Gajah Mada ini Berangkat dari sebuah "Thesis" yang akhirnya bisa dijadikan sebuah buku dengan gaya penulisan yang renyah. Mudah dipahami, dan bahasanya ringan. Itu kesan dari beberapa orang yang berkomentar saat acara bedah buku pada beberapa waktu yang lalu.
Pembahasan ini penting. Apalagi, kalau dilihat baru-baru ini isu perempuan santer terdengar dan diperbincangan. Tak aneh memang, karena tanggal 8 Maret kemarin adalah hari "Perempuan Se-dunia". Ini terlepas dari peringaran hari tersebut, ada satu hal yang sangat penting untuk dibahas. Isu perempuan dan syariah yang sengaja dituding oleh kalangan feminis menjadi daya tarik bagi saya untuk hadir dalam bedah buku ini. Sekilas dari judul mungkin tak ada kaitannya dengan Islam. Karena jelas, temporal waktu yang ditulis disistem Fasisme Jepang dan Orde Baru. Namun, tentu kita tak akan lupa. Di masa itu perempuan muslim juga ada eksistensinya.
Feminis tengah gencar mengopinikan perempuan dan syariah melekat dengan korban pelecehan dan juga korban atas penerapan syariah. Sehingga, telah saya putuskan untuk menghadiri acara tersebut demi menambah fakta sejarah yang benar-benar terjadi.
Acara itu diadakan oleh PKKH yang bekerjasama dengan "etnohistori" yang berpusat di Jogja. Konon, acara seperti ini akan berjalan rutin tiap bulan kedepannya. "Saking" baru kali ini memasuki dunia luar dari "jurusan saya", beberapa hal saya dapati perbedaan mendasar yang tak saya jumpai di lingkungan dunia Sejarah Islam.
Sesampainya didepan pusat Kebudayaan saya pasang mental. Perlahan, saya dan dosen masuk ruangan. Saya ingat betul gedung ini juga pernah menjadi saksi sejarah dalam acara "Bedah Buku Jalan Baru Intelektual Muslimah" beberapa tahun yang lalu. "Di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi,,," itulah semua berawal.
Entah beliau melihat gerak gerik saya atau mungkin pengalamannya hingga akhirnya menebak dan tepat sama persis. Tiba-tiba beliau berucap,
"Jangan kaget ya! Biasa aja, ya beginilah ketika bersentuhan dengan dunia luar selain kampus kita. Santai aja, ya seperti biasanya kita dengan yang lainnya"
"Deg! Apa maksudnya?" Ternyata beliau melihat gelagat saya yang tidak biasa, barangkali memang benar. Sambil senyum kumencoba menjawab. "Hehe iya ya bu"
Apa yang kalian bayangkan? Bagaimana tidak "shock" ? Sesampainya ditikungan, kulihat dua orang duduk dan mulai beranjak berdiri dan berjalan. Mendekat dan mulai menyapa. Seseorang berpostur tinggi, memakai kacamata bulat, bercelana jeans, berkaos abu-abu dengan lengan yang sangat pendek, dan memakai slayer diikat dikepala. Sudah terbayang?
Saya awalnya ragu, hanya melempar senyum dan mencoba tetap bertahan. Bingung, antara mau berjabat tangan atau tidak. Tapi ia sangat ramah, berjalan cepat mendekati kami. Melempar senyuman dan mengulurkan tangan.
"akhirnya datang juga mb", sapanya pada dosen saya.
Bu dosenpun langsung respon "Iya mba,, alhamdulillah ini pas kebetulan luang".
Ya!, seseorang tadi adalah seorang perempuan. Seketika saya langsung bersalaman dan menunduk sambil memperkenalkan "saya Rizka mb".
"Oh ya,, mari-mari silahkan saja" hangatnya mempersilahkan kami. Itu yang pertama yang ditangkap mata.
Tak jauh dari itu sesaat beberapa langkah berjalan menuju deretan kursi dan meja registrasi kujumpai lagi. Tepat samping kanan jalan beberapa laki-laki tengah duduk dan saya rasa juga sempat mengarahkan matanya pada kami. Kami, yang berjalan pelan dan sama-sama memakai jilbab dan kerudung cukup menjadi "sorotan". Meski, dosen saya memakai Jaket panjang tetapi kelihatan dari gesturnya kami berpakaian muslimah. Saya, dengan kerudung pink yang lebar, dan jilbab tosca serasa begitu ketara kami ex dari kampus ternama di Jogja itu. Memang benar, hingga akhir hanya kami saya dan dosen saya yang mengenakan pakaian muslimah sebenarnya. Begitulah, alangkah ketara bagi mereka dengan kami yang secara terlihat mata cukup berbeda bahkan sangat berbeda dengan yg lainnya. Masih ingat betul, bapak-bapak berambut cukup panjang, berjenggot tebal dan hmm.. menghisap rokok dan berkaca mata. Lengkap, saya berhasil menangkap sekilas dan cukup jelas. Itu yang kedua.
Ketiga, jujur saya pribadi tidak biasa dengan lingkungan yg "plural". Secara keyakinan, berpenampilan, dan lainnya. Wabilkhusus dibidang pendidikan secara pribadi. Jadi kalaupun dalam satu ruangan banyak yang tidak berhijab dan berpakain "alakadarnya" dan mungkin cenderung menampilkan yg seharusnya ditutupi cukup membuat saya "kagok". Dan ini nggak biasa, namun usaha untuk tidak bersikap aneh tetap saya lakukan. Meski, justru harus banyak berkomunikasi. Barangkali saja menemukan titik dimana ada kecocokan dan menjadi washilah untuk mengajaknya taat dalam ranah "habluminannafsnya". Artinya, secara pendidikan formal saya belum pernah sekalipun dikelas atau dalam ruangan dengan siswa-mahasiswa yang bahkan non-Is. Meski, dikehidupan umum hal itu sudah biasa. Suasana, yang tak biasa inilah yang cukup menjadi titik perhatian saya.
Dan Ternyata benar dan wajar saja, memang forum itu umum. Yang menghadiri Tidak saja dari kalangan mahasiswa. Di tempat itu banyak budayawan, seniman, orang-orang yang berkutat dibidang sosial hampir semuanya ada di ruang itu.
Kami,? ya kami melengkapi dari kalangan akademisi dari institusi Islam. Kami muslim dan kami berasal dari kampus UIN.
#UGM
Kamis, 25 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar