Siapa sangka? Bisa bertemu dengan seorang petinggi di Negeri ini.
Bukan berharap, apalagi memimpikan. Ini hanya kebetulan. Dan sebenarnya
tidak bisa juga dikatakan bahwa ini istimewa. Paling tidak, saya telah
menambah daftar nama orang yang saya kenal, begitulah kiranya.
Kejadiannya kemarin, saat kami tengah 1 jam menunggu seorang dosen
pembimbing rekan untuk menjalankan seminar proposal. Satu jam sudah
berada dilantai 2, dengan beberapa prahara terjadi dikampus kami
menunggunya. Tepat pukul 11.30 beliau muncul. Setelah beberapa detik
saya hubungi dan beberapa detik kemudian muncul dari arah Barat.
Seketika, rekan saya berdiri dan langsung menghadap. Kerisauannya
hilang, dan akhirnya diputuskan seminar di ruang 109. Ruang Munaqosyah
tidak jadi dipakai, kami berdua segera mengikuti beliau dari belakang.
Tak lupa memberi isyarat pada rekan bahwa seminar di lantai 1.
Sedikit informasi, ruang 109 terletak didalam ruang dosen Sejarah dan
IPI. Maka sudah seharusnya memasuki ruang dosen dengan posisi kami masih
dibelakang beliau. Sebut saja Pak Haq.
Ruang dosen bukan ruang
yang horor, namun ruang yang cukup membuat mahasiswa "sungkan" dan
harus bersikap sopan pada siapa saja yang ditemui di ruang ini.
Begitulah kiranya adab sopan yang harus dijalani.
Tiba-tiba kami
harus berhenti. Pak Haq tidak belok kekiri ke 109, tetapi beliau harus
belok kanan ke arah kerumunan dosen-dosen yang tengah duduk melingkar.
Begitulah gambaran yang sering saya dapati. Saling sapa, saling senyum
dan menghampiri siapa saja yang tengah berada di ruang ini. Dan kami?
Masih tetap berdiri. Diujung timur dan tepat lurus dengan kerumunan
dosen. Grogi? Tentu, malu? Sedikit sih!. Ditambah lagi tiba-tiba salah
seorang dosen berucap,
"Wah,, wah kayak gini dibuntuti dua perempuan? Dengan agak sedikit bercanda. Seketika Pak Haq menjawab
"Ini mau seminar pak" dengan sedikit tertawa. Mungkin, beginilah candaan bapak-bapak dosen batinku.
Perlu dikenalkan siapa saja yang tengah melingkar dalam perbincangan
para dosen. Pertama, di sebelah Barat ada dosen mengampu mata kuliah
Arsitektur Islam yang tengah duduk dimeja beliau sendiri. Sebut saja Pak
Ris. Kedua, ada gurunda kami yang kami hormati, dan yang kami tunggu
petuah-petuah ilmunya. Beliau menghadap ke selatan dan membelakangi
kami. Maka wajar, kami berdua cukup menanti saat kami berdiri di ujung
timur dan menunggu beliau menoleh ke kami. (^_^) beliau Pak Jahdan Ibnu
Humam. Mengampu mata kuliah Sejarah Dunia I dan Sejarah Dunia II.
Ketiga, tepat disebelah Barat dan berhadapan dengan Pak Ris, beliau
mengampu mata kuliah Sejarah Islam Minoritas dan Sejarah Intelektual
Islam. Sebut saja Pak Sujadi. Keempat, nah ini dia yang jadi tanda tanya
kami. Sesosok berkumis dan berambut hitam yang baru kami jumpai kali
ini. Kami baru melihatnya, kami pula belum mengenalnya. Dan kalian tahu?
Beliau itu pula yang sempat bercanda menyapa Pak Haq dengan "guyonan"
yang cukup aneh kami tangkap.
Dan kami masih berdiri, membawa
berkas map dan menunggu Pak Haq untuk menuju ruang 109. Namun, beliau
yang belum kami kenal tiba-tiba menyapa kami.
"Sini,, nggak pengen kenal sama saya?"
Kami masih berdiri dan sedikit manggut dan senyum tanda memberi salam dan merespon beliau.
Ternyata, tidak selesai disitu. Kami yang masih berdiri berjejer, beliau sapa lagi untuk mendekat. (Lah lah,, oo oo)
"Lhoo kok diam aja, sini nggak mau kenal?" Ucap beliau pada kami.
Dan akhirnya, Pak Jahdan yang kami tunggu-tunggu menoleh pada kami.
Mungkin itulah yang menggerakkan kami. Rasa hormat, kami tujukan dengan
mendatangi beliau-beliau guru kami. Tak berani mendekat, yang sebelumnya
berjarak 4 meter kami langkahkan, kami menuju pada beliau. Namun, hanya
beberapa langkah saja. Kuputuskan berdiri di belakang Pak Jahdan.
Pak Unamed (karena kami belum tahu) tadi berkata :
"Sini saya kenalkan guru saya. Beliau ini namanya Pak Jahdan, guru
Bahasa Inggris saya" ucap beliau sambil menunjuk ke Pak Jahdan.
Memperkenalkan guru beliau.
(Beliau kan juga guru kami, batinku dalam hati).
(Beliau kan juga guru kami, batinku dalam hati).
Pikiran tenang kami salah. Beliau yang belum kami kenal ternyata tidak
berhenti begitu saja. Padahal, kami juga sudah memberi anggukan salam
pada beliau. Dan untuk kesekian kalinya, beliau berucap pada kami.
"Lhoo, sini salim sama saya" sambil tersenyum dan agak sedikit tertawa.
Aku dan Ani saling bertatap. Kebingungan telah melanda. Apa yang harus
kami lakukan? Dikelilingi para guru dan mereka mungkin paham betul, kami
tak pernah berjabat tangan langsung kepada beliau-beliau. Hanya sekedar
memberi salam dan anggukan. Sempat, kuarahkan tatapan pada guru kami
(Pak Jahdan), beliau pun juga sempat melihat kami dengan kerisauan
(sepertinya).
Dengan gaya yang khas, beliau yang belum kami
kenal mencoba renyah, rame sapaannya, dan suaranya cukup lantang.
Justru, itulah yang membuat kami bingung. "What must we do?"
Satu, dua, tiga! Dan akhirnya kuputuskan untuk melangkah. Ani pun juga
melangkah dibelakang saya. Saya mendekat dan memberikan salam pada
beliau dan kami salim (dengan rasa cemas yang begi,,tu sangat) ya! Kami
tengah memberi salam pada beliau. Dengan singkat beliau menyebutkan
namanya.
"Ingat ya, saya Julian dan bla bla bla,,, " cukup
panjang dan kami sempat lupa. Setelah dirasa cukup, kami mundur kembali.
Pak Jahdan sempat menanyai kami,
" Mau apa?" Tanya beliau
" Seminar proposal pak" Jawab Ani
" Rizka bagaimana? Sudah?"
" Alhamdulillah sudah pak" jawabku singkat
" Seminar proposal pak" Jawab Ani
" Rizka bagaimana? Sudah?"
" Alhamdulillah sudah pak" jawabku singkat
"O, ya sudah silahkan"
"Monggo Pak" Kami pamitan pada beliau-beliau yang sedari tadi kami
menyita perbincangannya. Beliau-beliau mempersilahkan dengan ramah.
****
"Akhirnya plong juga" ucapku lirih sambil memasuki ruangan 109. Setelah
itu kami berdua sedikit merefleksikan kejadian barusan. Tidak berhenti
disitu, perasaan risau justru mengganggu kami. Disisi lain pembahasan
"salaman" belum hilang dipikiran, dan muncul pertanyaan baru. Siapa
sebenarnya beliau? Dengan sikap yang membuat kami jadi "canggung" dan
baru kali ini kami dapati peristiwa seperti itu. Akhirnya, kuputuskan
untuk bertanya pada Pak Haq.
Pertanyaan ku ajukan sebelum seminar dimulai. Tapi, dengan ringan beliau menjawab "bukankah tadi sudah kenalan?"
"Hanya singkat Pak, masih ingin tahu lagi" jawab saya
"Beliau Guru Besar"
Ternyata itu informasi tambahannya. Tak banyak, hanya satu kalimat.
Hingga selesai seminar lingkaran para guru belum juga usai. Begitu juga
saya, saya belum merasa cukup mengetahui informasi siapa sebenarnya
beliau?. Bagaimana beliau bisa disini? Apakah alumni UIN? Sehingga
begitu dekat dengan guru-guru di jurusan saya?.
Bagi saya itu
suatu hal yang menarik, bahkan penting. Bukan hanya sebatas informasi
angin belaka. Kalau beliau disebut Guru Besar, tentu dalam pikiran saya
beliau juga bukan orang "sembarangan". Maka Satu-satunya jalan yakni
harus bertanya pada guru. Dan satu-satunya dosen yang kemudian bisa
diandalkan adalah Pak Jahdan. Saya sudah sering berkomunikasi dengan
beliau, maka bagi saya sepertinya tidak akan sulit untuk mengetahui
lebih lanjut tentang Pak Julian tadi.
Melalui salah satu media
sosial Whatsup, saya memanfaatkannya. Pak Jahdan cukup aktif di media
ini. Sehingga dari whatsuplah salah satu cara untuk melanjutkan
penyelidikan saya. (Meski masih sangat sederhana)
Tepat pukul 16.00 WIB sesaat menaiki bus Sumber Selamat kuputuskan untuk membuka sebuah percakapan.
Whatsup
Murid : "Assalamu'alaykum, bapak, beliau tadi sinten nggeh?"
Guru : "Wa'alaykumsalam. Julian, dosen dari pak Haq, dll. Dia mantan
rektor Sy. Sekarang menjabat di "kemenko kesra". Dulu saya selalu
menemaninya belajar bahasa Inggris. Kenapa? Agak aneh ya?
Murid : "iya pak lumayan. Jadi beliau murid njenengan nggeh?"
Guru : "setidaknya begitulah yang dia katakan tadi"
******
Ternyata oh ternyata, Pak Jahdan menangkap gerak-gerik kami. Rasa
canggung, bingung, resah sedari tadi saat berdiri, beliau indera. Apa
memang begitu ketara ya?. Ya sudahlah,, yang jelas memang begitulah yang
kami rasakan. Sehingga muncul berbagai pertanyaan dan sikap kami yang
tidak biasa.
Nah, kalau beginikan cukup banyak yang saya
dapatkan. Beberapa pertanyaan akhirnya terjawab. Saya jadi tahu beliau
sekarang. Ia adalah Prof. Dr. Julian Wahyudi. Beliau salah satu dari
murid Pak Jahdan dan dibersamai saat belajar bahasa Inggris. Dosen kami
Pak Haq yang sekarang mengajar di Sejarah juga ternyata murid Pak Julian
saat duduk di Pascasarjana UIN. Tak tertinggal pula, beliau sempat
menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuludin. Kalau tidak salah begitu,
karena "Sy" itu biasanya sebutan untuk Ushuluddin. Tetapi, ini harus
dikejar lagi. Apakah benar?. Dan sekarang ini, beliau menjadi pejabat di
"Kemenko Kesra". Sehingga, saya menyebutnya petinggi di Negeri ini.
Begitulah kawan, rentetan dan riwayat perjumpaan kami dengan salah satu
petinggi di Kemenko Kesra. Dibilang aneh, iya juga sih!. Dibilang
menarik, sedikit. Karena kalau tidak dengan proses tadi mungkin saya
tidak akan kenal dengan beliau. Begitulah, singkatnya kisah saya dan
rekan saya mengenal beliau yang bernama Pak Julian. Barangkali, suatu
saat kelak bisa bertemu lagi. Kisah singkat itu bisa dijadikan "sangu"
dan sebagai bukti.
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
UIN Sunan Kalijaga
UIN Sunan Kalijaga
Rabu, 20 Jumadul Ula 1436 H
Rizka K. Rahmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar