JERATAN SENJA

Udara sore enggan berjabat ketika gadis kecil berjalan menelusuri pinggir kota. Serasa sesak saat kaki berdiri dikerumunan benda yg terbalut dari mesin, namun ia harus tetap berjalan!.
Menerka-nerka siapa yang akan selanjutnya ia kenal. Beriring penuh makna seolah tak mau melewatkan kesempatan.

"Saking" asyiknya berjalan, ia hampir saja lupa. Tatapan mata pada seseorang telah mengalihkan sasaran utama.

"Masya Allah" deg! Kedua bola matanya menyorot pada seorang yang jauh dari hadapannya. Ia menyebutnya kawan sejati.

Lagi, ia mencoba mengusap mata. "Benarkah ia?" Atau senja sore telah memudarkan pandangannya?.
Kembali memastikan, mengarahkan tatapan diseberang jalan.

Ia tepat, ini bukan lagi sebuah terpaan. Jelas ia tak salah memandang. " ia kawanku" gumam lirih gadis kecil diketerasingan ramainya insan.

Allah telah mempersaudarakan dua perempuan yg tak saling kenal menjadi dekat. Menjadikan keduanya seolah tak lagi asing dipandang rekan seangkatan. "Dia (Allah) mengeratkan dg tali keimanan. Menancapkan keduanya dalam sebuah persaudaraan akan teguhnya belajar Islam.

"Rasya,, Rasya,,!" gadis kecil itu memanggilnya. Suara yang beradu dengan kerumunan bisingnya jalanan. Berharap suara paling kencang akan didengar kawan sejatinya.

Perasaan ragu menyelimuti hati, "akankah ia mendengarnya?".

Kuatnya iman berubah gemuruh bumerang. Disaat Ledakan kehidupan tak mampu ia tahan. Hangatnya sapaan, berubah menjadi sengatan tak terabaikan. Sungguh, inikah yg mengakhirinya?

Kekhawatiran semakin memuncak. Berjalannya kawan dari balik bangunan menuju pada seseorang dibalik motor dipinggir trotoar. Ada rasa takut yg membuncah ia rasakan. Postur seorang lelaki yang ia tuju jadi biang kegundahan. Takut, entah apa yang akan ia saksikan.

Tiba-tiba,, ia langsung berlari mengejar mengambil posisi kaki berdiri. Melambaikan tangan berharap kawannya melihat dari kejauhan. Namun apa yang terjadi? Mereka menghilang senyap tak membekas. Lenyap begitu saja dalam sekejap. Di jalanan yang cukup ramai, bahkan "berseliweran" diantara bnyaknya mobil bertuan.

Ranum senyum tertata rapih disetiap sudut bibirnya. Sebuah pertanda kerinduan yang lama belum juga berjumpa. Akhirnya tiba dan berjalan meninggalkan sudut kota. Ia kawan sejatinya. Menjauh dengan semburat senyum manis dibibirnya.

Begitu jua gadis kecil nan berjalan tertatih. Lambaiannya percuma, teriakan menggema seolah terpenjara sel-sel megahnya kota.

Kawanku, ia kini seolah telah tersambung akan ikatan sah. Berjalan dengan mesra hingga ia lupa akan panasnya neraka. Pelan namun pasti. Melangkahkan kaki menaiki roda dua kendaraan apiknya. Bersama seorang yg dulu sempat ia menangis karenanya. Berucap kata manis diantara mereka. Mengubah dunia menjadi permata perhiasan nan fana. Inilah yang mereka namakan kebahagiaan?. Tajam tatapan tertangkap nyata. Ada rasa bangga yg ia "pamerkan".

Gadis kecil (alaina) tak sanggup melangkahkan kakinya. Seolah terjerat tiada sanggup melepasnya. Hatinya sakit, ia resah. Perlahan air mata menari dipipinya. Benarkah apa yang ia lihat? Ia seolah tak percaya.

"Bukankah ia sudah paham akan "nidzomul ijtima'I"?
"Bukankah, ia sudah mulai mengaji?"
"Bukankah ia sudah melepaskan rasa yg belum saatnya?" Gumam lirih mengiringi butiran air mata kekecewaan.

Lantas apa yg ia tangkap kedua bola matanya?
Ia moncoba menjerit, namun angin menghalanginya. Ia sadar, ia sedang tak bersama satupun rekan. Namun ia yakin Allah membersamainya.

"Ya Allah,, kenapa ia begitu?" Ya Allah, bukan! Ia bukan kawanku, bukan," bukan Ya Allah,, " hati sesak laksana tertimpa ribuan benda. Ia tak mampu lagi berkata.
***
"Dek bangun!" Seseorang membangunkan gadis kecil itu

"Masya Allah,, deg! aku mimpi!"
"Astagfirullohal'adizm,, mimpi apa aku barusan" lirihnya menatap jam tangan yg masih ia kenakan.

"Bangun, yuk tahajud" seorang kakak membangunkannya.

Ia termenung. Terbangun meski belum beranjak berdiri. Kekhawatiran mulai muncul.
"Aku begitu yakin dalam mimpi itu seperti nyata benar-benar terjadi. Ya Allah ada apa dengan saudariku?" Perlahan ia mencoba menarik nafas

Pelangi berganti awan. Tanda hujan akan segera datang. Hari ini ia kawanku mengunjungiku. Bersapa dan saling bercerita saat hari-hari nan telah berlalu tanpa tatapan muka.

Seketika itu pula ku sambar tangannya.
"Afwan,, bolehkah ku bertanya satu hal?" Tanyaku padanya disenja sore.
"Serius sekali, ada apa ukh? Ya silahkan,, " jawabnya ragu
"Aku ingin bercerita sebuah mimpi. Dua hari yang lalu dan ini cukup mengganggu pikiranku." Pelan suara menambah ia menggenggam tanganku.

"Singkat saja,, aku bermimpi antum sedang berboncengan dengan ragil. Astagfirullloh,, aku takut benar-benar takut. Apakah aku pernah membuat luka?" Tangkasku bertanya padanya,,

Aku takut jika mimpi itu membebaniku dan selalu membanyangi. Kau tak lagi mengenalku. Wajah cantikmu sungguh tak lagi mengenalku. Tatapan mata sinis, kau palingkan wajahmu seolah kau tak ingin lagi bersaudara denganku. Astagfirulloh,, tolong dijawab. Apakah aku telah melukaimu?? Kugenggam tangannya, raut muka tanya berubah merona. Bukan merona bahagia, ia tundukkan wajah tak segera memberi jawaban padaku.

Ia ragil, laki-laki yang ia kenal 3 tahun lalu. Perlahan kabar mulai terdengar telingaku. Ia yg dulu belum kukenal, sedang di mabuk cinta sama rekan satu angkata. Dulu,, masih ingat dalam memoriku. Wajah ayunya kumelihatnya. Perjalanan menuju pantai atas nama "makrab mahasiswa". Wajah ayu kembali muncul, dengan segudang panitia mencoba merayunya bersama pria. Ya, dia sedang dijodohkan atas nama jurusan. "Ah,, kali itu benar-benar membuatku bosan". Makrab diselingi dengan adegan-adegan yg menjatuhkan pada sebuah rasa. Mereka rekan-rekan digiring untuk mendapat gebetan. Aku murung,, berjalan menjauh menepi bersama rekan yg lain. Menghindar drama yg tak lagi syar'I bahkan menjatuhkan korban.

"Masya Allah,,, aku pun bermimpi ia. Dia hadir dalam sebuah mimpi. Tapi sungguh! Aku tak lagi ingin mengenalnya. Apalagi menjalin cinta atas nama rasa yg belum saatnya." Ia mulai bercerita.

"Kenapa bisa sama ya,,?" Tanyanya terheran.
"Ndak ukh,, beneran ndk ada kenapa2. Aku nggak terluka" ucapnya.

"Tapi,,,,," ia menunduk dan terdengar sesenggukan air mata.
***
"Ia masih menunduk. Namun perlahan mulai berucap. Awalnya ragu, tetap kutunggu. Akankah ia bicara ?"

"Ka,, masih ingat saat kau duduk diselasar masjid?" Tanya dengan raut muka yang tampak menanggung beban.
"Kapan,,?" Tanyaku balik

"Ingatkah saat ku meminjam buku Ratu-ratu Islam yang terlupakan,,?"

Aku masih mencoba mengingat, tanyanya padaku.
"Ah,, kapan ya! Aku belum mengingatnya." Sambil berfikir keras, mencoba menjelajah memori ingatanku.

"Itu kapan ya,,?" Tanya ku memintanya segera

"Saat itu,, kejadiannya sudah lama. Kurasa saat awal memasuki semester ke-7. Ingatkah kau meminjamkanku buku Ratu-Ratu,,,?"

"Saat kau duduk menunggu rekan mengambil air wudhu,,. Saat kau menghadap keselatan. Tepatnya saat waktu dhuhur. Aku mendatangimu," ia menyakinkanku dengan kronologi kejadian saat itu.

Hmm,,,, aku ragu, apakah iya,"

***
Selang beberapa menit.

"Ohh iya yaa ingat, aku ingat sekarang" jawabku membuatku lega. Ternyata aku masih mengingatnya.

"Lantas, ada apakah itu?"

"Maafkan aku,, sungguh aku khilaf. Maaf,, aku berjanji itu yang terakhir. Aku sungguh masih nakal saat itu.

" Aku belum jua stabil. Cubit aku,, tampar aku,, Aku tak mau lagi melakukannya" semakin keras suara tangisannya. Ia menunduk tak melepas tanganku.

"Adaa apa,?? Dengarkan aku, lihat aku saudariku, ada apa?" Tanyaku mendesak.

Ia semakin menunduk. Terbata mulai keluar kata demi kata.
"Aa,,kuu, ya,, saat itu! Aku boncengan sama ragil." Maafkan aku,,,

"Haah,,,!! Astagfirullahal'adzim,, seketika seperti tersambar petir ku mendengar ucapannya.
"Boncengann,,??"

"Aku nggak ada pilihan lain. Ia mendatangiku. Ia mengambil kunci dari genggamanku. Hanya sepatah kata ia ucap padaku. Ia ingin ku mengantarnya kesuatu tempat. Aku sudah menolaknya, tp ia tetap tak menghiraukanku. Sampai akhirnya,, aaargg,,! Akuu harus berboncengan denganya".

"Aku takutt,, aku takut akan Allah. Aku takut,, aku juga takut kau melihatku. Sepanjang jalan aku menyebut Allah, aku ingat kata2mu. Aku pula menyebut namamu."

"Aku tak layak lagi berteman dgmu saat kuingat ia memboncengku. Aku ingin teriak, aku tak bisa.!"

Panjang ia menjelaskan padaku. Menangis, yah masih kuingat ia menangis dengan tersedu-sedu.

****
Serasa tersedak. Serasa diriku ditampar senja sore itu. Aku,,,termenung mendengar celotehnya. Akuu,,, tak sedikitpun terbesit akan kejadian itu.

Mimpiku,,, bunga tidur kemarin berubah menjadi api yg membakar.

"Ya,,, ini semoga yg terakhir kawan. Tak pernah terbayang tanyaku berbuah ujung pilu.

Kau mampu menangkap pantulan mimpiku. Kau membeberkan mimpiku. Dan, kau! seolah "mewujudkan mimpiku".

"Astagfirullohal'adzim,,, tidak ku tak rela ini yg terjadi.!

"Ya,,, ini semoga yg terakhir kawan. Tak pernah terbayang tanyaku berbuah ujung pilu.

Kau mampu menangkap pantulan mimpiku. Kau membeberkan mimpiku. Dan, kau! seolah "mewujudkan mimpiku".

"Astagfirullohal'adzim,,, tidak ku tak rela ini yg terjadi.! "Astagfirulloha'adzim". Aku terbungkam. Kata-kata keluar hanya sebuah penyelasan.

"Kau bisa mendatangki esok hari. Berharap ada rangkaian kata yg akan kuberikan padamu" ucapku padanya.

"Kau,, tetap kawanku bukan? Kau tak akan menjauh setelah ini kan? Sambaran pertanyaannya padaku.

"Kau tidak akan mengulanginya bukan? Sambarku.
"Hmm,"
Sebab Dia pemilik cinta, yakinlah Dia akan memberi imbalan tiap aktivitas kita. Berikan Dia (Allah) pemilik cinta merasakan cinta makhlukNya selaras syari'atNya."



-Mu'arrikhul Inqilaaby-
Jogja, 24 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar