Buya Hamka
~ketika ulama tak bisa dibeli~
Ketika itu siang - siang kami pergi menuju ke sebuah kantor untuk menemui seroang dosen demi mendapat pesetujuan mengenai review buku. Ketika sampai disana beliau tidak sendiri tetapi bersama satu dosen lagi. Kita berhasil sharing dan mendapat keputusan, ditengah -tengah pebincangan menyeletuk "jangan pakai buku itu, pemikiran Hamka kolot tidak lagi cocok untuk sekarang". Tersentak kaget dan sedikit emosi tetapi temanpun meredam, akhirnya ide cemerlangpun didapat dan aku putuskan untuk mengambil buku itu dan apapun resikonya aku hadapi. Kalaupun aku dikatakan kolot tak mengapa yang jelas selama lisan mampu menyampaikan akan terus aku sampaikan. Sedikit pengalaman diatas membuat ukhlaiya ingin posting tentang tokoh Buya Hamka. Dan tak lupa jazakumulloh khoir kepada salah satu dosen, bekat "celetukkannya" membuahkan ide. Semoga bermanfaat kawan ...## :)
Surat
itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI
Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya
pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada
pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Buat banyak orang pengunduran diri Hamka
sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang
alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik
gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya
mengharapkan agar mundurnya Hamka “jangan sampai dipergunakan golongan
tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak
umat lslam sendiri.”
Kenapa Hamka mengundurkan diri?
Hamka sendiri mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan
oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut
pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal,
meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M.
Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat
untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam.
“Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar,” katanya.
Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret
pada pengurus MUI di daerah-daerah. Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei
1981 memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama
no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga
beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI. Yang menarik, sehari
setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali
beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu
ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku
Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI.
Menurut SK
yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar,
terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan
sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata
hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara
yang bersifat seremonial, bukan ritual. Tapi bila itu soalnya, kenapa
heboh? Rupanya “bocor”nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan
Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam
pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah
sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri
Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan
masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. “Menteri
Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan
dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum
disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya,” kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI.
Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh
pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta iin
berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, “Tidak tepat kalau
saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus
runtuh.” Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri.
“Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang
bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut …. Jadi sayalah yang
mesti berhenti,” kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam
penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka
juga mengakui adanya “kesalahpahaman” antara pimpinan MUI dan Menteri
Agama karena tersiarnya fatwa itu.
Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. “Gemetar
tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang
saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah
bobroknya saya ini, bukan?” kata Hamka. Alasan itu agaknya yang
mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi,
awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April
itu “tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan
hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh.” HAMKA juga
menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI
bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam
tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam
Golkar.
Buya Hamka tercatat sebagai ketua MUI
pertama sejak tahun 1975. Keteguhannya memegang prinsip yang diyakini
membuat semua orang menyeganinya. Pada zamam pemerintah Soekarno, Buya
Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden
Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran
jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, Buya Hamka juga
terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu.
Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh
Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah
dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul
”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam
terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika
tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Buya Hamka
lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta
Selatan.
Ketika menjadi Ketua MUI, Buya Hamka
meminta agar anggota Majelis Ulama tidak digaji. Permintaan yang lain:
ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada
kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan
ulama. Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka,
menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari “politik Hamka menghadapi
pembentukan Majelis Ulama”. Ulama mubaligh ini, menurut Roem, kuat
sekali menyimpan gambaran “ulama yang tidak bisa dibeli“. Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan.
******
TAK ada lagi Buya Hamka. orang tak akan
menantikan khotbahnya di Masjid Al Azhar. Tak akan mendengarkan suaranya
yang serak itu lagi, pada malam tarawih, pada kuliah pagi, pada
pengajian subuh lewat RRI — untuk seluruh Indonesia. Suara yang sangat
dikenal itu akan tak ada lagi. Selama-lamanya.
Ulama sangat penting itu berpulang “di
hari baik bulan baik”, hari Jum’at 21 Ramadhan (24 Juli), “ketika bulan
puasa masuk tahap ketiga” atau tahap lailatul qadar, menurut pengertian
orang santri. Memang menunjukkan keutamaan: ribuan orang yang mengiring
jenazahnya ke pemakaman, dan yang keluar ke pinggir-pinggir jalan, boleh
dikatakan semuanya orangorang yang berpuasa dan baru turun dari
sembahyang Jum’at. Entah apa yang menggertak mereka itu: dalam waktu
hanya empat jam, dan tanpa sempat disiarkan koran (meninggal pukul
10.30, dan diberangkatkan ke pemakaman pukul – 14.30), ribuan para
pelayat memenuhi jalan dan pekuburan dengan kendaraan yang macet panjang
di daerah Kebayoran Lama dan Tanah Kusir.
Hamka memang sudah hampir tidak berarti
“golongan” agama. Juga tidak hanya seorang “kiai”. Barangkali memang
inilah ulama pertama yang dipunyai Indonesia, yang sangat paham “hidup
di luar masjid”. .
Abdul Malik (bin Abdul) Karim Amrullah,
HAMKA, dilahirkan di Negeri Sungai Batang, di sebuah rumah di pinggir
Danau Maninjau yang molek di tanah Minangkabau. “Nama ibuku Shafiyah,”
katanya dalam bukunya Kenang-kenangan Hidup. “Beliau meninggal pada usia
masih muda, sekitar 42 tahun. Beliau dianugerahi Tuhan sepuluh orang
putra. Lima dengan ayahku dan lima pula dengan suaminya yang kedua.
Ibuku cantik! . . . ” la sangat memuja ibunya — sebagaimana juga
istrinya yang pertama, nanti, Siti Raham. Ayahnya, yang ia kagumi, hanya
sebentar-sebentar tampak menyelinap dalam hidup intelektualnya –meski
dengan pengaruh sangat kuat.
Haji Rasul, nama asli sang ayah, adalah
orang pribumi pertama yang mendapat gelar doktor honoris causa — dari
Universitas Al Azhar, Kairo, tempat ia sendiri belakangan juga mendapat
gelar yang sama di tahun 1958 –dan pemimpin pesantren Sumatra Thawalib
yang masyhur di Padangpanjang. Kenang-kenangan masa kecil inilah yang,
bagi siapa yang membaca buku-bukunya, termasuk Ayahku, membentuk jiwa
anak muda yang bengal namun lembut itu. Si Malik itu seorang jagoan
kecil dulu. Belajar silat, belajar iniitu, kemudian lari ke Jawa dan
berguru pada H.O.S. Tjokroaminoto dan Suryopranoto, ikut pergerakan,
lari ke Mekah — dan akan tinggal di sana kalau saja tidak dinasihati
Haji Agus Salim untuk pulang. Dan jangan lupa: pemuda ini juga bercinta —
di kapal, misalnya, meski akhirnya tak jadi kawin. Ia sendiri mengakui
sifat-sifatnya yang dulu: kecuali pemarah, pantang tersinggung dan
perajuk, “juga lekas jatuh hati kepada gadis-gadis” . . . Memang sangat
manusiawi. Ia memang akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan
ayahnya: mengganti kedudukannya sebagai ulama, seperti juga neneknya dan
ayah neneknya.
Tapi bahwa ia tak seperti mereka,
terlihat misalnya dari sikap Buya kepada poligami: Hamka termasuk ulama
yang tidak merestuinya. Kenang-kenangannya masa bocah, dari sebuah
keluarga yang pecah, yang berpoligami dan bercerai, rupanya cukup tajam
untuk menggugah jiwa halusnya. Kenang-kenangan itulah, bersama dengan
penghayatannya kepada adat Minangkabau, yang menjadi modal pokok
roman-romannya yang memeras air mata: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Si Sabariah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli, dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan.
Hamka bukan sekedar “ulama yang
bersastra”. Ia ulama, dan ia pengarang. Hanya segi sastra itu makin
mundur ke belakang sejalan dengan usianya yang menua, maupun
tugas-tugasnya yang menjadi makin formal agama. Ketika ia menulis tafsir
Qur’annya yang 30 jilid, yang diberinya judul dengan nama masjid yang
dicintainya, Al Azhar, kemampuan kepengarangan itu tidak lahir dalam
wujud bahasa yang disengaja indah Namun orang toh tahu bahwa caranya
bertutur betapapun berbeda. Tafsir itu sendiri dikerjakannya di penjara
rezim Soekarno. Ia ditangkap persis ketika sedang memberi pengajian ‘.
Kepada seratusan ibu-ibu di bulan Ramadhan. Pengalaman itu ada terasa
menerbitkan rasa pahit juga. Namun bahwa Hamka. “mudah memaafkan dan
menyesuaikan diri”, terlihat dari misalnya pergaulannya dengan keluarga
Bung Karno — Nyonya Fatmawati terutama — yang sangat baik sampai akhir
hayat.
Ulama ini memang memenuhi fungsi pemimpin
rohani yang paling pokok jadi pelayan. Asal jangan ditekan, dan jangan
dibeli. Kata-katanya enam bulan lalu, ketika jilid terakhir tafsir itu
selesai dicetak, merupakan salah satu firasat. “Nampaknya, tugas yang menjadi beban selama ini selesai. Tinggal lagi kini menunggu panggilan llahi . . . ” Dan panggilan itu pun datang kini.
“Kita kehilangan seorang ulama besar. Kita kehilangan seorang pemikir besar. Kita kehilangan seorang sastrawan besar,
” komentar Menteri Agama Alamsyah, ketika melepas jenazah almarhum di
pekuburan. E.Z. Muttaqien, salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia
sekarang ini mengakui: “Akhir-akhir ini beban Buya Hamka memang sangat berat. Kesehatannya tidak memungkinkannya lagi memikul beban itu.”
*****
Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal
13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir yang mengurai
kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan
kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara
RI.
KEPADA SAUDARAKU M. NATSIRMeskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!
(dikutip dari buku “Mengenang 100 tahun HAMKA”)
Sajak berikut merupakan rangkaian dari
sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang sebelumnya menyusun
sajak untuk M Natsir yang berjudul “Kepada saudaraku M Natsir”.
DAFTARSaudaraku Hamka,
Lama, suaramu tak kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,
Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.
Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur
Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun…
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” … *
Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959
Tidak ada komentar:
Posting Komentar