Ja'far bin Abi Thalib untuk Ibrahim





              “Wahai baginda Raja, dahulu kami adalah kaum Jahiliyyah, kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan tindakan kekejian, memutus hubungan kekerabatan, dan berlaku buruk kepada tetangga. Yang kuat diantara kami memakan yang lemah. Itulah keadaan kami, hingga akhirnya Allah mengutus kepada kami seorang Rasulullah yang kami kenal dengan baik garis keturunannya, kejujurannya, amanahnya, dan kesucian dirinya. Dia menyeru kepada kami untuk mengesakan Allah dan menyembahNya, dan menanggalkan apa yang sebelumnya kami dan nenek moyang kami sembah selain Allah, seperti bebatuan, berhala-berhala”[1]


Riwayat ini sangat masyhur dicatat oleh sejarawan muslim dalam menuliskan sirah Rasulullah. Sebuah riwayat dari Ummu Salamah binti Umayyah bin Al-Mughirah[2] saat bercerita tentang Ja’far sebagai juru bicara kaum Muslimin dalam peristiwa hijahnya ke Habasyah. Kala itu Ja’far dihadapkan bukan dengan orang yang biasa, ia dihadapkan pada sosok Raja yang punya kedudukan tinggi di muka kaumnnya. Sebuah negeri yang Rasulullah kabarkan tiada perilaku kedzaliman oleh penguasanya (Rajanya), maka jatuhlah pilihan hijrah ke Habsyah setelah hijrah sebelumnya ditolak dan menyisakan luka. Sebuah negeri yang Rasulullah tahu betul apakah negeri itu baik atau buruk, apakah menolak atau justru memberi kesempatan pada mereka. Perintah hijrah yang Rasulullah sampaikan kepada sahabat adalah bentuk kecintaan beliau pada sahabatnya. Keinginan beliau memberikan rasa aman serta nyaman bagi mereka. Oleh karena itu, dikirimnya sahabat untuk hijrah ke Habasyah adalah cara Rasulullah membina segenap sahabat dalam memimpin dakwah, yang sangat berpengaruh sepanjang masa. Yang setelahnya menjadi panutan para sahabat dan generasi Islam untuk menyerukan dakwah pada siapa saja yang layak menerima seruannya. 

Dialah Ja’far bin Abi Thalib. Putra dari paman Rasulullah , Abu Thalib. Seorang kakak dari khalifah yang agung Ali bin Abi Thalib. Terpisahkan pengasuhannya bersama pamannya, yakni Abbas bin ‘Abdul Muthathalib. Seorang adik dari sosok yang mendapat pendidikan madrasah agung Rasulullah. Meski berbeda pengasuhan, Allah telah menggariskan keduanya sebagai pembela Islam yang tak diragukan. Hilmi ‘Ali Sha’ban dalam karyanya yang berjudul Ja’far bin Abi Thalib menyebutkan bahwa ia juga mendapat julukan Jafar –e Tayyar.[3] Diriwayatkan bahwa Ja’far merupakan orang yang sangat dekat dengan Rasulullah, bahkan cukup lama tinggal bersama dalam satu rumah. Budi pekertinya mencontoh budi pekertinya Rasulullah. Bahkan Rasulullah pernah bersabda kepada Ja’far:
          “Rupamu dan budi pekertimu serupa denganku”

Di bawah pimpinan Ja’far, seorang yang mempunyai keberanian yang tinggi, yang setiap ucapannya membuat Raja Najasy tak sedikitpun menolak tentang permasalahan Islam yang ia sampaikan. Saat Raja bertanya:
“Apa pendapat kalian tentang Isa putra Maryam?”
Ia tak sedikitpun berselisih dengan Al Quran. Maka Ja’far menjawab, 

“Kami sampaikan teantangnya, seperti apa yang telah dibawa oleh Nabi kami, bahwa Isa adalah hamba Allah dan RasulNya, serta ruh yang ditiupkan-Nya, dan kalimat yang Dia anugerahkan kepada Maryam Sang Perawan”.

Masih tentang permintaan Raja Najasy untuk menjelaskan tentang Maryam. Ia meminta apa tentang suatu hal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Maka dengan sigap ia membacakan surat Maryam. Dalam sebuah riwayat, penyampaian Ja’far hingga membuat Raja Najasyi sesenggukan menangis seolah tak percaya, sampai-sampai air matanya membasahi janggut-janggutnya, hingga lembaran kitab injil mereka. Ja’far menceritakan tentang seorang wanita yang dalam keyakinannya sangat mulia, kisah yang diungkapkannya adalah benar tak sedikitpun ada yang berbeda.  Tatkala Raja Najasyi mendengar ayat tersebut berkatalah ia:
 “Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak akan aku serahkan kepada kalian!”.


Menelusuri perjalanan dakwah Rasulullah periode Makkah selalu kita dapati berbagai hikmah kisah yang membuat kita terus sujud bersyukur. Intropeksi diri bahkan bisa kita dapati untuk mengukur kemampuan diri. “Sudah seberapa jauh kita mendalami tantangan perjalanan dakwah beliau?”. Bahkan, seberapa besar kita merefleksikan turut menapaki jalan dakwah beliau?. Memutuskan untuk ikut andil menjadi bagian menyeru dalam kebaikan dan menolak kemungkaran adalah pilihan yang mulia, dan tentu tidak sedikit tantangannya. Jikalau pilihan telah kita tentukan untuk mengambil langkah dakwah, tidak ada sedikitpun kerugian didalamnya. Justru surga ganjarannya.  Betapa perjalanan dakwah beliau penuh dengan tantangan yang besar. Kemurkaan kafir Qurays membuat beliau dan sahabat beliau harus menahan sakitnya dianiaya, pemboikotan yang lama, dan permusuhan yang tak mengenal usia, bahkan nasab kelauarga. Mereka bersekongkol dengan seluruh pembesar kafir Qurays guna menghentikan dakwah Muhammad. Namun bagi Rasulullah Muhammad dan sahabatnya itulah jalan yang musti ditapaki. Mustahil jika kesabaran tak berbuah bagi mereka. Maka, separah apapun penganiayaan yang mereka terima mejadi resiko bagi siapa saja yang memlih bersanding dengan beliau. Menolak keyakinan kufur dan mengatakan “Allahu ahad”. Menolak menggunkan sistem jahiliyah dan berupaya menggantikan dengan  sistem yang mulia, yakni Islam. 


Dialah Ibrahim Firmansyah yang meminta diulas sosok Ja’far bin Abi Thalib saat mendekati Ujian Akhir Semester. Dia tidak duduk didepan layaknya anak yang “rajin” memilih barisan pertama di dalam ruang kelas. Justru ia duduk paling belakang. Namun tak sedikitpun mengalihkan perhatian saat guru sejarahnya menyinggung kisah Ja’far tatkala itu. Tidak banyak, saya mengkisahkannya ketika ia berhasil mengambil perhatian Raja Najasy. Namun rupanya, sepenggal kisah itu membuat ia ingin tahu tentang Ja’far. Sempat beberapa kali ia harus berselisih pendapat dengan rekannya. Rekannya berharap pembahasan dakwah Rasulullah dilanjutkan. Namun, ia belum ingin melangkah. Saya mulai bimbang, bayangkan saja waktu yang tersisa hanya 5 menit terakhir. Sedangkan saya harus melanjutkan materi yang harus tersampaikan dalam pertemuan kali ini. Bukannya saya tidak ingin menceritakan sosok Ja’far dengan semua kelebihannya, hanya saja belum menjadi pilihan yang tepat. Materi sejarah dalam satu pertemuan sudah di rancang sedemikian rupa. Apa saja yang akan disampaikan dan mana yang harus di “skip” agar terpenuhi kompetensi dasarnya. Ibrahim lagi-lagi terus mengeluh dan seringkali “menyindir” dengan menyebut nama Ja’far didetik-detik terakhir. Ia tetap “keukeuh” ingin mengenal mujahid Islam itu. Sosoknya, perangainya, nasabnya, bahkan ketika pertemuannya dengan Raja Najasy, hingga akhir hidupnya. Sedih sebenarnya, karena buku di sekolah juga belum memadai. Kitab Sirah Nabawiyah juga belum mereka baca. Buku diktat mapel Sejarah Islam baru saja mereka dapatkan. Itupun ringkasan. Lantas, seberapa besar ghirah / semangat mereka bisa tetap membara untuk mendalami Sirah? Dan seberapa besar cinta terhadap sejarah akan lahir dari ghirah tersebut? Saya tak bisa menjaminnya, hanya bisa mengupayakan akan ghirah itu tetap ada. 

Pernah saya bertanya, “Apakah Sirah Nabawiyah diajarkan dipondok?” Dan memang belum ada secara khusus mengaji tentang Sirah Nabawiyah. Disinilah saya selalu mencoba menekankan kepada mereka untuk memperbanyak bacaan. Khususnya Sirah Rasulullah Muhammad. Namun, kendala akses buku yang sangat minim dan akses internet mejadi tantangan. Oleh karenanya, saya harus sebisa mungkin memasukkan kisah-kisah dari kalangan sahabat yang musti mereka ketahui. Menyisipkan kisah-kisah yang berharga dan sangat disayangkan apabila dilewatkan. Dia lah Ibrahim yang menginspirasi saya agar terus memikirkan cara untuk mengenalkan Sirah Rasulullah dan sahabat beliau. Ia pula seorang siswa yang ucapannya selalu dijaga, tutur katanya baik, sopan, santun, bahkan hampir-hampir jarang ia menggunkaan bahasa Indonesia. Inilah kisah singkat Ja’far bin Abi Thalib untuk Ibrahim Firmansyah.

#1JejakSejarahIslamMadrasahKita








[1]  Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sejarah Lengkap Rasulullah (Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar), hlm. 314.
[2] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sejarah Lengkap Rasulullah , hlm. 312.
[3] Hilmi ‘Ali Sha’ban, Ja’far bin Abi Thalib, hlm. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar