ANTARA JAMUR PERADABAN ATAU PEMEGANG
PIONIR EMAS
PERADABAN
Pemberani, menantang, cerdas, rajin, kreatif, santun, inspiratif,
dan berprestasi .Itulah
sederet kata yang tepat untuk pemuda yang mempunyai idealisme. Berbagai kata
yang disematkan untuk para pemuda yang geraknya begitu nyata. Pemuda pencetus
keahlian dalam bidang yang mereka geluti. Bahkan Allah SWT berfirman “Pemuda yang rajin beribadah hanya untuk
Rabb- nya (Allah Azza Wajala), “Pemuda yang selalu memikirkan tentang dinnul
Islam” mereka akan masuk surga-surga Nya. Sungguh betapa Allah sudah
menempatkan pemuda sesuai dengan janjiNya. Di sini terlihat bahwa pemuda mempunyai
tempat yang nyata di mata Nya.
Lihat seorang profesor yang telah berdomisili bukan
lagi di negeri
kelahirannya dan tenaganya sudah dibeli oleh negara lain. Ialah B. J
Habibie, seorang pemuda yang dulunya jadi banggaan bangsa hingga ia mampu
menciptakan sebuah karya yang berharga. Namun sungguh miris yang ada justru
negara tidak lagi menggenggamnya. Ini menjadi pertanyaan besar dimana
nasionalisme yang selalu dijunjung layaknya mahkota raja. Terlepas dari
nasionalisme, yang jelas Pak Habibie menjadi salah satu pemuda yang berharga,
dari hasil karyanya. Betapa banyak pemuda dahulu yang se masa dengan beliau berbondong
– bondong untuk bekerja menghasilkan
sebuah karya yang minimal sama dengan Habibie. Puluhan rekan – rekannya terbang
ke negara Jerman, Cina, dan lain – lain untuk mendapatkan yang serupa.
Merekapun terbang tanpa mempedulikan negaranya kala itu. Fakta saat itu pemuda
yang bergerak dalam bidang teknologi pembuatan pesawat tinggal menghitung jari.
Hingga sekarang mereka enggan untuk kembali kenegerinya.
Pemuda, ditangannyalah perubahan mampu mereka gerakkan
dan wujudkan. Masih ingatkah Sumpah Pemuda 1928, reformasi 1998? Namun apa yang
terjadi dengannya kini? Pemuda tidak lagi menempati sebagaimana peran mereka
yang dinanti masyarakat dan orang – orang di sekelilingnya. Mereka kini asyik
dengan apa yang dihadapi. Dunia hedonis, pragmatis, bahkan idealis tak lagi
disandang oleh pemuda.
“October Month” menjadi satu dari 12
bulan yang terkhusus menjadi pemompa semangat pemuda. Bagaimana tidak ? dibulan
ini terdapat sebuah peristiwa sejarah yang tidak dapat disingkirkan perjuangannya.
Perjuangan pemuda untuk membebaskan belenggu negara dari kaum kafir penjajah,
tekad pemuda untuk menjadikan nusantara berdaulat tanpa campur tangan bangsa
penggembos. Pemuda berusaha untuk mewujudkan cita – cita. Cita – cita bangsa
yang begitu bergelimang namun kini tidak jelas
arahnya. Setiap tahun berusaha mengganti visi – misi, bahkan selalu berkata
mewujudkan cita – cita. Tetapi realitanya, pemuda tidak tahu bagaimana membawa
bangsanya untuk menjadi yang sebenarnya bangsa. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Roy Suryo mengatakan dan
berharap bahwa kita semua, dan pemuda Indonesia khususnya, perlu meyakinkan
dunia bahwa kita adalah generasi pemuda yang tetap memelihara kesantunannya di
tengah berbagai perubahan nilai moral dan sosial yang melanda dunia. Sebuah
pompaan semangat yang secara logika menenangkan jiwa.
Namun apa yang
ada? pemuda dengan ke pragmatisannya tidak pernah berfikir bagaimana
mengentaskan kemiskinan di samping
“istananya”. Mereka bahkan tidak mau membuka mulutnya untuk membebaskan freeport
dari cengkeraman asing dengan menyuarakannya kepada pemimpinnya. Mereka bahkan
enggan untuk melirik kenapa kedelai bisa naik sehingga penduduk dibawah garis
kemiskinan tidak bisa menelan sesuap gizi dari alam yang dianugerahkannya untuk
mereka. Ini sebongkah permasalahan dari ribuan gunung pemasalahan yang melanda
bangsa dan dunia secara nyata. Tetapi apa yang dilakukan pemerintah disaat
ditanya bagaiamana mendidik pemudanya?. Puluhan program diberikan kepada pemuda
untuk menggenggamnya bahkan untuk mengolahnya. Lihat saja beberapa program yang
diajukan oleh pemerintahan. Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Ditjen Dikti
Kemdikbud Prof Dr Ir Achmad Jazidie M.Eng mencatat 12 PTS sudah menjadi PTN
atau mengalami "penegerian" sejak tahun 2010 hingga 2013. Sebelumnya,
Mendikbud Mohammad Nuh saat meresmikan penegerian Politeknik Banyuwangi 24 februari 2013 menyebut alasan pengertian antara lain
kawasan perbatasan yang strategis dan kepentingan bangsa untuk menyiapkan
sebagian dari 113 juta skillsworker
atau SDM yang terampil yang dibutuhkan negara kita untuk bersaing pada 100
tahun Indonesia Merdeka pada tahun 2045 (indonesia.go.id, 27/2).
Diterbitkannya
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2013 yang ditandatangani Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada 12 September 2013 tentang Pembentukan Lembaga Permodalan
Kewirausahaan Pemuda (LPKP). Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat
memperkuat upaya-upaya pemerintah dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan pemuda
Indonesia. Begitu juga seiring perubahan zaman dan dengan generasinya yang
datang silih berganti, pemuda diharapkan tangguh berdialektika dan merespons
dinamika kehidupan bangsa di tengah kemajuan dunia yang demikian cepat. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009
tentang Kepemudaan. Dalam hal ini pemerintah berharap semua Organisasi
Kepemudaan dapat menyesuaikan diri dengan Undang-Undang Kepemudaan tersebut. Mulai dari Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) yang menggelar Technopreneurship.
Jika kita amati maka hal ini sangat
wajar terjadi, karena diakui atau tidak pemerintah kita sedikit demi sedikit
telah mengambil dan mengadopsi paham ekonomi neoliberal yang merupakan turunan
dari ekonomi Kapitalisme, yang sejatinya akan selalu pro terhadap pemilik modal
besar. Lihat saja UU yang selama ini dihasilkan, dari mulai UU PMA pada tahun
1967 yang menurut Kwik Kian Gie,
Doctor ekonomi lulusan Rotterdam Belanda menyebutkan bahwa sejak bulan November
tahun 1967 Indonesia sesungguhnya sudah menyerahkan dirinya untuk diatur dan
dijadikan target penghisapan oleh korporasi Internasional. Para pemimpin kita
sendiri itu menuntun korporatokrasi mulai beroperasi di Indonesia atas dasar
infrastruktur hukum yang dirancang oleh korporasi-korporasi asing (KoranInternet.com,25/5/2008). Yang membuat seluruh kekayaan alam
yang demikian melimpah di negeri ini bukan malah membuat kita sejahtera tapi
justru menciptakan sederet potret buram kemiskinan. Inilah bukti bahwa
Indonesia sudah benar-benar menganut paham ekonomi Neoliberal-Kapitalisme. Jadi
sesungguhnya sistem ekonomi yang ada inilah yang justru menyebabkan kemiskinan
secara struktural karena akan selalu berpihak kepada pemilik modal bukan rakyat
secara umum.
Beberapa data di atas menunjukkan fakta yang sangat signifikan
yang dilakukan dari pihak Universitas sendiri, pemerintah, atau bahkan swasta
berbondong – bondong untuk mengarahkan para pemuda khususnya mahasiswa /
mahasiswi untuk turut terjun langsung menjadi subjek atau hanya sebatas objek
dari program mereka. Pihak pemerintah sendiri khususnya menunjukkan wajah
ketidakmampuannya dalam menangani krisis ekonomi akibat krisis global.
Dari penunjukkan fakta dan data diatas terlihat jelas pemerintah mandul dalam
menanganinya. Bagaiamana tidak? Jika pemerintah mandiri lantas kenapa
melibatkan pemuda khususnya mahasiswa yang seharusnya fokus dalam berbagai
bidang yang mereka sanggupi hingga kelak menjadi pionir negara. Itu jika
diinginkan, namun realitanya kini seolah terbalik. Pemuda digiring menjadi
pihak yang bertanggungjwab atas krisis yang diakibatkan ulah pemerintah itu
sendiri.
Berbagai kasus diatas akan tetap ada
dan terus ada jika masih bergelimang dalam sistem sekuler saat ini. Pemerintah
hanya sebagai simbol dan layaknya benda mati yang tak mampu bergerak. Ia hanya
akan mengikuti siapa yang menggerakkannya. Jika negara dipimpin oleh pemerintah
tirani hasilnya pun akan tirani. Jika negara dipimpin oleh sistem demokrasi
yang beginilah jadinya. Lihat saja para pemuda yang benar – benar mempunyai keahlian,
mereka akan merasa bangga dengan kondisi dan kenyataan teknologi dinegara maju
seperti Jepang, Amerika, dll. Kondisi yang notabene masih mencoba untuk
bertahan maju, namun hakikatnya keruntuhan didepan mata. Demikian akan berbeda
jika para pemuda pulang kenegeri asalnya seperti Indonesia. Keinginan
memajukkan teknologi dinegeri hanya semu belaka. Bagaimana tidak? Mereka kembali
ke Universitas asal mereka, tetapi fasilitas tidak sama sekali negara
itu memiliki, inilah hanya omong kosong belaka. Disinilah salah satu letak
potensi pemuda yang dibajak pihak – pihak tak bertanggungjawab. Ketika melihat
kondisi seperti ini, maka inilah kesempatan asing untuk menjadi pelabuhan
tenaga dan keahlian mereka. Miris sekali, sunggung ironi pemuda saat ini. Hal ini mengisyaratkan adanya upaya
penjagaan pemikiran pemuda dan potensi
bangkit pemuda, (kritis, idealis, intelek
dan energik
namun terkungkung dalam berbagai persoalan akibat kapitalisme) bergerak ke arah kebangkitan islam. Skenario penumpulan pemikiran dan kesadaran politik
adalah tantangan besar bagi pemuda dalam upaya
mewujudkan kebangkitan hakiki.
Kontribusi
pemuda dalam Khilafah mempunyai strategi yang handal dan menghasilkan sebuah
hasil yang nyata shahihnya. Mutiara emas peradaan bukan untuk dihisap tenaganya
untuk menjadi seorang buruh hanya untuk mengumpulkan pundi – pundi uang, mereka
sang permata peradaban bukan sebagai aktor “materialisme” yang kapanpun dan
dimanapun pemikirannya hanya akan diarahkan pada uang, bukan!. Mereka pemuda
yang tahu persis bagiamana ia diciptakan sehingga ia akan patuh terhadap
perintah Sang Khaliq dan menyandarkan setiap aktivitasnya berdasarkan
perintahNya. Karena mereka (baca:Pemuda) paham bahwa kelak akan ada hari dimana
setiap amal akan dihisap dan dipertanggung jawabkan. Sejarah berbicara, mereka
telah mampu dibuktikan, sosok visioner para sahabat Rasululloh SAW seperti
Mushab bin Umair, Muadz bin Jabal, Muhammad Al Fatih, dll. Kekhilafahan tidak
cukup disini, mereka menjadi cermin bagi peradaban selanjutnya (baca: peradaban
barat). Bukankah Al Khawarizmi menggempur akal mereka tuk menjadi “Sang Guru”
bagi mereka?. Ibnu Sina menjadi “Revolutioner Father” bagi perkembangan ilmu mereka,
Al Biruni mampu menjadi “Penghancur rantai berkarat” peradaban dan kekuasaan
gereja dulunya, meskipun kini mereka justru tergelincir. Semua itu menjadi
sebuah kaca yang bukan sesekali digunakan melainkan berkali – kali untuk
melihat dan mengikuti kecedasan mereka.
Berbagai sistem
dalam Khilafah mampu membentuk para pemuda seperti batu lautan yang mampu
terbentuk pionir – pionir perhiasan dalam peradaban dunia. Sistem pergaulan
menghasilkan pemuda taat bukan maksiat seperti pemuda saat ini yang katanya
maju, ya maju dalam hal kemaksiatan. Pendidikan mampu menjadikan meraka bukan
hanya pragmatis dalam mempelajari ilmu, melainkan meraka paham betul dasar
mereka mempelajari ilmu karena membentuk pola pikir yang jelas menjadi
pegangang umat muslim yaitu aqidah Islams. Sudah waktunya kita sebagai pemuda
yang harusnya menjadi contoh generasi berikutnya. Menjadi cermin bagi pemuda
selanjutnya. Akankah menjadi pemuda “Jamur Peradaban” yang hanya terdiam dan
mengusik serta menebar bakteri selanjutnya, atau menjadi pemuda “ Pemegang Obor
Emas Peradaban” yang berkembang ditempat hingga menebar epos positif dan
menggerakkan pemuda lainnya dan mereka memantaskan diri tuk kelak menjadi
bagian dari “The Shahih Civilisation”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar