BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada pertemuan-pertemuan sebelumnya kita banyak membahas dinamika pemikiran dalam dunia
Islam melalui kajian tokoh dan wilayah. Tentu ada banyak cara untuk memaparkan
kajian pemikiran seperti melalui pengenalan tokoh yang sudah kita praktikkan
bersama sebelumnya. Hanyasaja, untukkontekstemadanmakalahhariini (yakniGerakan-gerakan
Pembaruan Islam di Indonesia Awal Abad XX) kami
mencoba dalam pemaparannya dengan mendeskripsikan organisasi-organisasi yang ada di
Indonesia, terutama organisasi yang mempunyai kontribusi nyata dalam proses
pembaruan (tajdiid) di Indonesia awal
abad XX atau masa-masa menjelang kemerdekaan.
Begitu luasnya
ruang lingkup bahasan kali ini, membuat kami sedikit kebingungan dalam hal menentukan
aspek mana yang kemudian menjadi prioritas dalam pembahasan makalah.
Sebagaimana sebelumnya, kita sering kali memisahkan mana pembaruan pada aspek
politik, sosial, keagamaan, dan mana pendidikan. Akan tetapi, lagi-lagi, jika
kita melihat teks tema kali ini, maka kami barangkali sedikit menyimpulkan
bahwa penekanan bahasan adalah lebih cenderung ke corak pemikiran Islam dari
segi agresivitasnya. Mengingat, pada era awal abad XX ini di nusantara sedang
gencar-gencarnya melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial baik
itu yang dipelopori oleh kaum modernis seperti Budi Utomo maupun keagamaan
seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) atau Sarekat Islam (SI).
Oleh karena itu,
maka pembahasan organisasi merupakan alternatif lain dalam penyajian kali ini
yang barangkali akan lebih efektif dan maksimum dalam pemaparan. Oleh karena
organisasi adalah wadahnya para tokoh dan elite-elite kaum intelektual muslim,
maka menyitir biografi tokoh organisasi yang dimaksud adalah sebuah
keniscayaan.
Sebelum saya memaparkan
gerakan tajdid di nusantara awal abad XX yang nantinya kita banyak berbicara
mengenai gerakan versi Deliar Noer, perlu kita ketahui bersama bahwa usaha
pembaruan keagamaan (dalam arti luas) di nusantara sudah terjadi sejak abad
XVII sebagaimana diutarakan Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama,
bukannya abad XX sebagaimana Deliar Noer menulis disertasi tentangnya. Bukan
pula abad IX seperti versi-nya Hamka[1].
Akan tetapi, dapat dimaklumi perbedaan pendapat tersebut jika kita paham
bagaimana masing-masing tokoh mengorientasikan pembaruan (tajdiid) yang dimaksud. Azra, misalnya, kita ketahui dari
pernyataannya senidiri bahwa yang dimaksud pembaruan adalah proses pengembalian
pada ortodoksi Sunni yang kemudian timbulnya penyelarasan antara Syari’at dan
Tasawuf (neo sufisme)[2].
Dalam mengkaji
pembaruan (tajdiid) pemikiran Islam,
kita menemukan corak yang tidak terlepas dari empat hal:
– Puritanisme (tauhiidiyah)
– Reformisme (ishlaahiyyah)
– Modernisme (‘ashriyyah)
– Pemaduan
ReformismedanModernisme
Untuk konteks Indonesia, di dalamnya, pada awal abad XX
ditemukan ke empat corak tersebut. Kaum puritan, misalnya, kita mendapati
Muhammadiyah (1912) sebagai organisasi yang paling gencar dalam melancarkan
pemahaman anti TBC (tahayyul, bid’ah dan
churafat). Kaum reformatif, kita
kerap mengidentifikasikan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang dalam
kemunculannya sebagai caerminan dari usaha sebagian ulama pesantren Jawa-Madura
dalam mereformasi pemahaman keagamaan tradisionalnya meski motifnya tidak
sekedar itu saja. Bahkan ada yang memahaminya, NU bukanlah pembaharu tetapi
cenderung defensif dan mempertahankan status quo. Pendapat ini barangkali
benar, tetapi saya kira tidak sepenuhnya, mengingat slogan NU adalah al-Muhaafadzoh ‘ala al-Qodiim al-Shhaalih wa
al-Akhdzu bi al-Jadiid al-Ashlah (mempertahankan sesuatu yang lama yang
baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik)
Di dalam bukunya,
Gerakan Modern Islam di Indonesia, Deliar Noer memasukan organisasi Jami’at
Khair (Jami’at al-Khair) sebagai organisasi pertama yang memodernisasi sistem
administrasi yang diterapkannya seperti penataan keanggotaan dan anggaran dasar[3].
Ini sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya organisasi kepeloporan di nusantara
yang berorientasi pada kebangkitan nasional baik dalam pendidikan, sosial,
politik atau sebagainya bukanlah Budi Utomo, atau dengan kata lain, kaum
Islamis sudah lebih mendahului kaum nasionalis-modernis dalam hal kesadaran
persatuan demi tercapainya cita-sita kemerdekaan. Tentu gerakan modernisasi
tidak berhenti pada Jami’at Khair. Bahkan nama organisasi ini cenderung tidak
dikenal oleh masyarakat Indonesia hari ini. Berbicara organisasi modern dan
yang memodernisasi tata kehidupan umat Islam kita lebih akrab dengan
Muhammadiyah. Disamping puritan, Muhammadiyah juga kerap melancarkan
paham-paham modernisme terutama sekali dalam dunia pendidikan. Bisa kita lihat
bagaimana pergerakan dan sikap yang diambil oleh Ahmad Dahlan dalam menyikapi
model pendidikan kolonial yang mana beliau cenderung mengakomodasi sistem mereka
(kolonial. Red.) ketimbang menolak bahkan mengharamkan sebagaimana kalangan
muslim penatren atau pedesaan.
Dalam situasi
yang serba tidak menentu dalam menghadapi kolonialisme, kita tidak akan pernah
bisa mengesampingkan begitu saja mengenai peran kaum tradisi (begitu Deliar
Noer menyebut mereka) sebagai kaum mayor. Meski mereka bukan termasuk golongan
pembaharu dalam kategorisasi Noer, tetapi kemunculan organisasi Nahdlatul Ulama
adalah salah satu cerminan sederhana yang menggambarkan bahwa ada usaha dari
mereka (kaum tradisi) dalam memutakhirkan pola gerakan sebagai bentuk
sumbangsih terhadap situasi nusantara. Meski saya melihat itu bukanlah isu
utama dalam pendirian jam’iyah, tetapi fatwa jihad pada 10 November 1949 dari
tokoh organisasi tersebut menunjukan bahwa organisasi ini memang tidak bisa
begitu saja disisihkan dari ingatan sejarah dalam percaturan gerakan Islam pra
kemerdekaan.
Dari sedikit
uraian di atas, apapun bentuk pembaruan yang diterapkan dan bagaimanapun
coraknya, kita tidak bisa memutus begitu saja mengenai peranan pemikiran Islam
di Timur Tengah. Mengingat Islam nusantara adalah Islam periferi, seringkali
anggapan di atas tidak terlalu dihiraukan. Padahal Ahmad Dahlan, misalnya,
diakui oleh para kalangan bahwa beliau terpengaruhi corak pemikirannya Abduh
dari Mesir. Kemudian NU, ketika mendirikan jam’iyah waktu itu mengakui salah
satu motifnya adalah sebagai respons terhadap ulah Ibnu Saud dan kaum Wahabi
(begitu orang-orang NU menyebutnya karena menisbatkan pada pendirinya). Oleh karenanya,
sebelum mendirikan organisasi, mereka membentuk Komite Hijaz untuk melancarkan
misi tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Puritanisasi Agama
Muhammadiyah
yang menghilangkan TBC
Organisasi ini
didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh kiyai Haji Ahmad
Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota
Budi Utomo untuk mendirikan sesuatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Dalam tahun 1909 Dahlan masuk Budi Utomo dengan maksud memberikan pelajaran
agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akhirnya akan
dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah dan juga
kantor-kantor pemerintah. Demikianlah Muhamadiyah didirikan.Organisasi ini
mempunyai maksud menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w. kepada
penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Dalam mengarahkan kegiatan-kegiatannya,
organisasi ini dalam awal pertama tidaklah mengadakan pembagian tugas yang
jelas diantara anggota pengurus , hal ini disebabkan oleh ruang gerak yang
terbatas. Daerah operasi Muhammadiyah diluaskan setelah tahun 1917, perluasan
ini dipermudah oleh berbagai faktor. Pribadi Dahlan dan caranya ia
berpropaganda dengan memperlihatkan toleransi dan pengertian kepada
pendengarnya sangat memberikan bantuan untuk memperoleh sambutan yang
memuaskan. Mereka mengenal pembaharuan di Mesir melihat pula pada Muhammadiyah
sebagai jalan untuk menyebarkan pemikiran pemikiran pembaharuan tersebut di
Indonesia, dan oleh sebab itu memberikan bantuannya kepada organisasitu.[4]
Gerakan
kebangkitan Islam, pada mulanya bersifat reformis, dalam pengertian bahwa ia
mengusung ide-ide pembaruan keagamaan. Sejarah kebangkitan Islam di Indonesia
bermula dari Minangkabau, ketika para intelektual muslim yang belajar di Mekah
dan Cairo kembali ke kampung halaman mereka dan menyebarkan semangat dan
gagasan-gagasan reformasi Islam.
Pertama, kegiatan-kegiatan Muhammadiyah
tidaklah tumbuh semata-mata dari buah pemikiran pemimpinnya saja. Pengaruh-pengaruh
luar telah kita lihat pada pendirian PKU dan Aisyiah. Diantara pengaruh luar itu
kegiatan missionaris Kristen yang memang telah memasuki jantung pulau Jawa
sejak abad yang lalu, bukan saja dianggap sebagai suatu tantangan, tetapi juga
merupakan suatu contoh bagi pemimpin-pemimpin muslim tersebut.
Kedua, suatu yang penting pula dari
Muhammadiyah ialah Majlis Tarjih, didirikan atas dasar keputusan kongres
organisasi itu di pekalongan pada tahun 1927. Fungsi dari majlis ini adalah
mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu yang
dipertikaikan oleh masyarakat muslim. Sebuah contoh dari Muhammadiyah tentang
sikap toleransiya terhadap pendapat lain diperlihatkan dalam suatu keputusan
Majelis Tarjih pada tahun 1932, bahwa
para guru wanita Muhammadiyah diharuskan memakai kerudung. Tetapi banyak
diantara guru-guru ini tidak melaksanakan keputusan tersebut. Sikap seperti ini
tidaklah menyebabkan orang pada kesimpulan bahwa Muhammadiyah kurang konsisten
dalam melaksanakan keputusan-keputusan, melainkan sikap seperti ini hendaklah
dihubungan dengan pelaksanaan kewajiban seseorang atau suatu pihak, dalam hal
ini kepada masyarakat.[5]
Ketiga, Islam
puritan atau Islam murni memiliki pijakan dasar untuk membersihkan
praktek-praktek agama yang dikotori oleh TBC. Islam murni memiliki dua sisi
yang sebenarnya kontradiktif, yaitu puritan dalam masalah tuntunan agama
berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah dan Liberal dalam masalah amal sosial.
Tipikal gerakan Islam puritan ala Muhammadiyah ini lambat laun mengalami
fregmentasi kultural.
Dahlan
sendiri, dan ini dapat dikemukakan secara pasti, telah mengetahui tentang
pemikiran-pemikiran Abduh itu pada tahun 1912. Pembaharuan yang mula-mula ia
lakukan, yaitu tentang praktek-praktek lahiriah
seperti kiblat dan kebersihan, kemudian dirangsang oleh pemkiran
pembaharuan Mesir itu dan diperluas secara lambat pada masalah-masalah
fundamental dari masyarakat dan umat Islam, yaitu tentang persoalan apakah
ijtihad telah ditutup ataukah terbuka.
Ada beberapa alasan terjadinya
fragmentasi gerakan puritanisme Muhammadiyah.
Pertama, di
tingkat massa pedesaan telah terjadi pergeseran elit pemimpin Muhammadiyah yang
berlatar belakang pendidikan agama yang ahli shari’ah menjadi elit baru yang
kurang memiliki latar belakang pendidikan baik agama atau umum.
Kedua, adanya
spektrum baru dalam ranah kajian ke-Islaman yang berlatar belakang mazhab Timur
Tengah yang skripturalis berubah menjadi mazhab Barat yang penuh dengan nalar
filosofis.
B.
Reformasi Pendidikan Islam
Jami’at Khair
Didirikan di
Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini terbuka untuk setiap muslim
tanpa diskriminasi asal –usul, tetapi mayoritas anggota –anggotanya adalah
orang –orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi
anggota tanpa diskriminatif asal – usul.. umumnya anggota dan pimpinannya
terdiri dari orang –orang yang berada, yang memnugkinkan penggunaan waktu
mereka untuk perkembangan organisasi tanpa mengorbankan usaha pencarian nafkah.[6]
Dua bidang kegiatan
yang diperhatikan oleh Jamiat Khair, pertama yaitu pendirian dan pembinaan satu
sekolah pada tigkat dasar. Yang kedua pengiriman anak –anak muda ke Turki untuk
melanjutkan pelajaran.[7]
Jami’at Khair merupakan organisasi pertama yang memulai organisasi dengan bentuk
modern dalam masyarakat Islam Indonesia,
daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat secara berkala, dan yan mendirikan
lemabaga pendidikan dengan memakai sistem yang boleh dikatakan cukup modern,
diantaranya memiliki kurikulum, buku-buku pelajaran yang bergambar,
kelas-kelas, pamakaian bangku, alat tulis dan sebagainya.[8]
Pendidikan yang
dikelola oleh Jami’at Khair ini sudah termasuk maju dibandingkan dengan
sekolah-sekolah rakyat yang ada dikelola secara tradisional.[9]
Sekolah dasar Jami’at Khair bukan semata-mata mempelajari pengetahuan agama
tetapi juga mempelajari pengetahuan umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah
dasar biasa, misalnya berhitunh, sejarah (umumnya sejarah Islam), ilmu bumi,
dan sebagainya. Kurikulum sekolah dan jenjang kelas-kelas telah disusun dan
terorganisir. Bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia atau
bahasa Melayu. Sehingga mampu menyaingi sekolah-sekolah yang dilaksanakan oleh
pemerintahan Belanda. Disamping anak-anak keturunan Arab, anak –anak Indonesia Asli
juga terdaftar disekolah ini yang kebanyakan dari Lampung. Bahasa Belanda tidak
diajarkan.
Untuk memenuhi
tenaga guru yang berkualitas Jami’at Khair mendatangkan guru-guru dari daerah
–daerah lain bahkan dari luar negeri untuk mengajar disekolah tersebut. Pada
tahun 1907 Haji Muhammad Mansur seorang guru dari Padang diinta untuk mengajar
disekolah tersebut karena penegathuannya yang luas dalam bidang agama dan
karena keamampuannya didalam bahasa
melayu. Al hasyimi didatangkan dari Tunis sekitar tahun 1911 yang disamping
mengajar juga memperkenalkan gerakan kepaduan dan olahraga dilingkungan sekolah
Jami’at Khair. [10]
Pada bulan Oktober
1911 tiga orang guru dari negeri-negeri Arab bergabung ke Jami’at Khair. Mereka
adalah Syaikh Ahmad Soekarti dari Sudan, Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko dan
Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Makkah. Syaikh Ahmad Soekarti memanikan peran
penting dalam penyebaran –penyebaran pemikirannya baru dalam lingkungan
masyarakat Ilam di Indonesia, adalah yang terpenting dari ketiga pendatang ini.
Menyusul kemudian
tahun 1913 pada bulan Oktober empat orang guru sahabat-sahabat Surkati dan
salah seorang diantaranya adalah saudara kandungnya sendiri, yaitu Muhammad
Abdul Fadl Ansari, Hasan Hamid al Antasari, Muhammad Noor, dan seorang lagi
yang akhirnya diperuntukkan bagi Jami’at Khair yang didirikan di Surabaya,
yaitu Ahmad Al Awif.
Disamping membawa
pembaharuan dalam sistem pengajaran (yang pertama memasukkan pengetahuan mum
dan bahasa Asing dalam daftar pengajarannya
April 1910) mereka juga memperjuangkan persamaan hak sesama muslim dan
pemikiran kembali kepada Al Qur’an dan al Hadist. Hal – hal yang kemudian
menyebabkan mereka kemudian terasing dari kalangan Sayyid dari Jami’at Khair
yang melihat ide persamaa hak ini akan mengamcam kedudukan mereka (Sayyid) yang
lebih tinggi dibandingkan dengan golongan lain dalam masyarakat Islam di Jawa.
Hal ini akan berakibat lanjut terjadinya perecahan dikalangan Jami’at Khair,
yang kemdian melahirkan organisasi Al Irsyad.[11]
C.
Modernisasi politik Umat Islam
Sarekat
Dagang Islam (SDI)
SDI didirikan oleh
RM Tirto Ahdisoerjo, di Bogor pada tahun 1909. SDI berdiri dari hasil rapat
Tirto Adisoerjo pada tanggal 27 maret 1909, yang di saksikan oleh Syeih Ahmad
bin Abdurahman Badjened (saudagar), Dokter Jawa Mohammad Dagrim, Mas Railoes
(kuasa tanah), dan Raden Mas Tirto Adhisoerjo.
Struktur organisasi
dibentuk , SDI menginginkan sebuah kantor perkumpulan, setelah meminta izin
resmi dari gubernur jendral, SDI menyewa sebuah gedung di Tanjakan Empang
Bogor, sebagai kantor pusat pada tanggal 5 april 1909, peresmian ini di hadiri
oleh Patih Bogor Mas Rangga Tirtamadja, pada dasarnya organisasi ini berdiri
dengan maksud perkumpulan dagang untuk “memajukan hal kepandaian berniaga
hendak melakukan tolong menolong dan kekompakan”, tidak ada pertanda khusus
bahwa organisasi ini didirikan untuk
menghadapi persaingan dengan bangsa cina, karna Tirto berpendapat bahwa tidak
ada perbedaan antara pribumi dengan penduduk bangsa asing.
Perkembangan
kemudian, terjadi pertikaian antara Tirto dengan keluarga Badjened. Pihak
badjend menginginkan SDI tetap sebagai organisasi dagang, sementara Tirto
mengingikan perubahan lebih luas menjadi organisasi pergerakan sosial politik
untuk bumi putera, pengurus SDI dari keluarga Badjaned akhirnya mengundurkan
diri , dan selanjutnya organisasi dipinpin oleh Tirto.[12]
Sarekat
Islam (SI)
Pada tahun 1912,
oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama SDI diubah
menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya
bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik.
Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah
sebagai berikut:
1.
Mengembangkan
jiwa dagang.
2.
Membantu
anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3.
Memajukan
pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4.
Memperbaiki
pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
5.
Hidup
menurut perintah agama.
SI tidak membatasi
keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah
membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan
masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur
Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Walaupun
dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam
kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan
menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan
kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan
perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada
bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai
politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke
Volksraad tahun 1917.[13]
D.
PemaduanReformisme dan Modernisme
Pembahasan pada sub bab kali
ini dan sub-sub sebelumnya adalah tidak bermaksud untuk mengkategorisasikan
kelompok-kelompok Islam tertentu secara utuh dan akurat dalam tema gerakan
pembaruan atau modernisme. Ini semua lebih kepada ijtihad bersama dalam upaya
mencari formula yang lebih sederhana supaya kemudian dapat dengan mudah
dianalisa para pembaca. Oleh karenanya, kategorisasi pemikiran keagamaan di
dalam makalah kami masih debatable dan
amat dipersilahkan untuk dibantah dan di kontruksi ulang.
Dari sekian gerakan sosial keagamaan yang ada (gersosag),
barangkali tidak banyak organisasi yang mengusung reformasi dan modernisasi
secara bersamaan dalam gerakannya. Jika reformasi diartikan sebagai upaya
perbaikan dari keadaan sebelumnya menuju keadaan selanjutnya yang dianggap
lebih baik maka Nahdlatul Ulama lebih layak dikatakan sebagai organisasi
reformatif. Tetapi berbicara modernisme, pada awal berdirinya kita tidak
menemukan Nahdlatul Ulama mengusung paham demikian. Bahkan kerap kali NU dicap
sebagai organisasi yang menghambat proses modernisasi seperti dengan keluarnya
fatwa pengharaman mengikuti (ittiba’)
tradisi kolonial (Barat) yang mana mereka kebanyakan adalah orang kafir,
dalilnya: man tasyabbaha bi qoumin fahuwa
minhum.
Berbicara modernisme, sepertinya kita harus menengok upaya yang
dilakukan Ahmad Dahlan dalam memodernisasi corak pendidikan umat Islam pada
awal-awal berdirinya Muhammadiyah. Organisasi ini tidak dapat dikategorikan
sebagai organisasi reformatif mengingat kebaruannya tersebut.
Sedangkan dari segi ketokohan,
mungkin Wahid Hasyim adalah sosok yang merefresentasikan kaum muslim Indonesia
yang reformis sekaligus modernis. Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa
yang turut mengukir sejarah negeri ini pada masa awal kemerdekaan RepublikI ndonesia.Terlahi rJumat Legi,
5 Rabi’ulAwal 1333 Hijriyah atau
1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relative muda. Setelah menimba ilmu
agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah,
pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren,
Wahid memadukan pola pengajaran pesantren
yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem klasikal diubah menjadi sistem
tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda.Itulah madrasah nidzamiyah[14].
BAB III
PENUTUP
Terjadinya gerakan pemabaharuan di Indonesia pada abad ke XX khususnya, tidak terjadi secara tiba – tiba,
dan pembaharuan ini membutuhkan proses yang cukup panjang. Dalam berbagai sub
telah dijelaskan bahwa diwali dengan terjadinya puritanisasi Puritanisasi agama, dalam tahap ini terdapat organanisasi yang termasuk dalam proses ini
yaitu Muhammadiyah. Dilanjutkan dengan reformasi
pendidikan Islam yang kita kenal terlebih
dahulu mengawalinya dan melakukan pembaharuan yaitu adanya organisasi Jami’at
Khair. DalAM bidang politik terdapat Sarekat dagang Islam yang dalam
perjalanannya berubah menjadi Sarekat Islam.
Daftar
Pustaka
Deliar
Noer,1994,Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942,Jakarta: PT Pustaka LP3S
Hasbulloh,1995,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta:PT Raja Grafindo
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 1992.
Tirto Adhisoerjo, 1981,Cahanya
di Kegelapan; capita Seleta Boedhi Oetomo dan Serikat Islam Pertumbuhan Dalam
Dokumen Asli.Jakarta:
Jaya Sakti.
Zuhairini
,dkk,1986,Sejarah Pendidikan Islam
Indonesia,Jakarta :Bumi Aksara
[1]Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII. (Jakarta: Kencana, 2007). hal. 300.
[3]Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942.(Jakarta: LP3ES, 1996).
hal. 71.
[4] Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1990),hlm.84.
[6] Zuhairini ,dkk,1986,Sejarah
Pendidikan Islam Indonesia, hal 158
[7] Deliar Noer,1994,Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,hal 68
[8] Hasbulloh,1995,Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, hal 93
[9]
Hasbulloh,1995,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, hal 92
[10]
Zuhairini ,dkk,1986,Sejarah Pendidikan
Islam Indonesia, hal 159
[11]
Zuhairini
,dkk,1986,Sejarah Pendidikan Islam
Indonesia, hal 161
[12]Tirto
Adhisoerjo. Cahanya di Kegelapan; capita Seleta Boedhi Oetomo dan Serikat Islam
Pertumbuhan Dalam Dokumen Asli.Jakarta: Jaya Sakti. 1981
[13]Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar